Puasa Umat Terdahulu
Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, ibadah puasa diwajibkan oleh Allah SWT tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat-umat terdahulu, seperti diterangkan secara eksplisit dalam ayat al-shaum, al-Baqarah ayat 183.
Menurut sejumlah pakar tafsir, terutama yang menyandarkan penda- patnya pada Ibn Abbas, frasa "al-ladzina min qablikum" pada ayat di atas me nunjuk pada Ahl al-Kitab, yaitu orang-orang Yahudi, umat Nabi Musa AS dan orang-orang Nasrani, umat Nabi Isa AS.
Seperti diketahui, Nabi Musa berpuasa selama 40 hari. Orang-orang Yahudi berpuasa Asyura, puasa tanggal 10 bulan ketujuh dalam kalender mereka. Di luar itu, ada beberapa hari lain mereka harus puasa. Orang-orang Nasrani juga puasa.
Puasa mereka tidak berbeda dengan orang-orang Yahudi, di antaranya, puasa besar, satu hari sebelum Hari Raya Paskah. Imam al-Alusi dan juga Fakhruddin al-Razi memahami lebih luas `umat terdahulu,' tak hanya Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, tetapi semua umat manusia, sejak dari Nabi Adam AS hingga sekarang. Syekh Muhammad Abduh malah lebih luas lagi, dengan menunjuk puasa yang dilakukan kaum paganis, baik di Mesir Kuno, Yunani, Romawi, maupun India.
Bagi Abduh, fakta ini menunjukkan adanya benang merah, kesatuan (sumber) agama (wahdat al-din) ditilik dari prin sip-prinsip agama dan cita-cita atau tujuan mulia yang dibawanya. Umat Islam dapat memetik pelajaran atau hikmah dari kenyataan bahwa puasa merupakan ibadah abadi yang diwajibkan oleh Allah kepada semua umat manusia. Tak ada umat dari seorang nabi, kecuali diwajibkan atas mereka puasa.
Setidaknya, ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik. Pertama, al-ihtimam bi hadzih-I al-`ibadah, kita mesti memberi perhatian khusus pada ibadah ini, memahami berbagai keutaman yang ada di dalamnya, serta memanfaatkan sebaik mungkin untuk mempertinggi ibadah dan amal kebajikan agar kita menjadi orang takwa.
Kedua, anla yatstatsqilu bi hadzih-I al-ibadah, kita tidak sepatutnya merasa berat dengan ibadah puasa. Kalaulah ada perasaan semacam itu, sadarilah bahwa ibadah ini juga dibebankan kepada umat-umat terdahulu.
Ketiga, itsarat al-qiyam bi hadzih-I al-faridhah, agar kita terdorong dan termotivasi melaksanakan kewajiban (puasa) ini sebaik mungkin, melebihi umat terdahulu. Di sini ada logika keunggulan (al-afdhaliyah wa al-khai riyah) yang mesti dibangun umat Islam, se bagaimana diutarakan Sayyid Thanthawi.
Umat Islam telah dinobatkan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik, (khaira ummah) atas umat terdahulu (QS Ali Imran [3]: 110). Kalau puasa diwajibkan kepada umat terdahulu, semua umat, tan pa kecuali, dan mereka mampu melaksanakan maka sesuai dengan logika keunggulan tadi, umat Islam sebagai umat terbaik harus mampu dan sanggup melaksanakan ibadah ini secara lebih baik lagi.Wallahu a'lam!
(sumber:Republika edisi Kamis, 25 Juni 2015 Hal. 1 Oleh A Ilyas Ismail)

Post a Comment