sifat kebinatangan manusia

Menyembelih Hawa Nafsu Menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan hari tasyrik merupakan bagian dari ibadah. Sama halnya dengan ibadah-ibadah lain, dalam ibadah kurban terdapat dua dimensi penting, yakni simbol dan makna.
Dimensi simbol berupa tata cara (kaifiyat fiqhiyah) penyembelihan hewan kurban. Sedangkan, dimensi makna terdapat pada niat berupa ketakwaan kepada Allah SWT.

Menurut Alquran, dimensi makna dari ibadah kurban jauh lebih penting dibanding dimensi simbolnya. Hal tersebut ditegaskan Allah SWT, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS al-Hajj [22]: 37).

Memang betul bila sejarah kurban bermula dari kisah Ibrahim AS dan anaknya, Ismail AS.
Setelah berdoa bertahun-tahun, siang dan malam, untuk memiliki anak sebagai pelanjut misi kenabiannya, Ibrahim AS dijanjikan Allah akan dikaruniai seorang anak penyabar (gulam halim).

Tidak lama, setelah anak yang dijanjikan lahir, Ibrahim pun meninggalkannya di sebuah lembah padang pasir bernama Makkah. Ketika kembali dan bertemu lagi dengan Ismail dalam keadaan sudah dewasa, melalui mimpi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih anak yang dicintai dan diharapkan menjadi pelanjutnya.

Manusia sekelas kita tidak akan mampu menjalankan perintah Allah untuk menyembelih anak yang sedari dulu diharapkan, dicintai, disayangi, dan dibangga-banggakan. Tetapi, berbeda dengan sang kekasih Allah, Ibrahim AS. Beliau dengan sabar dan tabah menyampaikan wahyu Allah kepada anaknya dengan penuh kesedihan.

"Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, `Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab, `Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS ash-Shaffat [37]: 102).

Perintah menyembelih Ismail ternyata merupakan ujian atas kesabaran Ibrahim AS dan putranya, Ismail. Ketika keduanya bersabar dan lulus dari ujian Allah maka sebagai buah kesabarannya, Dia (Allah) mengganti Ismail dengan binatang (sembelihan) yang besar. "Dan, Kami tebus (ganti) anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS ash-Shaffat [37]: 107).

Lantas, apa makna digantikannya sembelihan dari manusia (Ismail) menjadi binatang? Manusia secara fisik termasuk makhluk tegak. Kepala, dada, dan perut berada pada posisi vertikal. Kepala berada paling atas, sedangkan dada dan perut berada di bawahnya. Secara simbolis, posisi ini bermakna bahwa manusia lebih mengutamakan kepala (pikiran) daripada dada (nafsu) dan perut dalam menjalankan kehidupannya.

Kalau kita bekerja, berdagang, dan berbisnis tidak sebatas untuk memenuhi nafsu dan untuk kepentingan perut semata, tetapi memiliki visi jauh ke depan, yakni untuk kepentingan orang banyak.

Sementara itu, posisi kepala, dada, dan perut pada binatang horizontal atau sejajar. Secara simbolis posisi ini mengindikasikan bahwa binatang dalam menjalankan aktivitas hidupnya hanya sebatas mengumbar nafsu perut. Apabila binatang makan, mereka hanya sebatas untuk memenuhi hasrat perut, tidak pernah memedulikan halal-haram, yang terpenting perutnya kenyang. Dalam bahasa lain, binatang adalah simbol sifat egoisme, tamak, korup, dan rakus.

Jadi, ketika kita diperintahkan menyembelih binatang dalam berkurban, hakikatnya sedang menyembelih nafsu-nafsu hewaniah yang bersemayam dalam diri kita. Dengan menyembelih inilah segala kotoran jiwa dan nafsu mementingkan diri sendiri tidak akan lagi ada dalam diri kita yang ikhlas berkurban. Wallahu a'lam.

(sumber:Republika edisi Sabtu, 19 September 2015 Hal. 7 Oleh Karman)

Post a Comment

 
Top