doa korban fitnah

Memfitnah berarti menebar tuduhan kepada orang lain dengan fakta palsu atau dusta secara sengaja. Tujuannya untuk memberikan stigma negatif sehingga wibawa dan reputasi orang yang menjadi sasaran fitnah tersebut jatuh, apakah di hadapan orang tertentu ataupun di mata publik.

Bentuk dan motif fitnah ini bisa macam-macam. Misalnya, bentuk fitnah yang dikenal dengan istilah play victim, yaitu melukai diri atau merusak reputasinya sendiri dengan motif mencari simpati, keserakahan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Dan pada saat yang sama, ia pun harus melemparkan tuduhan bahwa pihak lawanlah yang melakukannya.

Biasanya, jenis fitnah di atas sering kita temukan, baik di tengah masyarakat lokal maupun global. Kecanggihan teknologi informasi dan jejaring media sosial menjadi salah satu andalan untuk memuluskan tipu muslihatnya tersebut. Tak aneh jika fitnah serupa atau bentuk fitnah lainnya sering terjadi, terutama di saat menjelang kampanye pemilu atau pilkada serentak yang tidak lama lagi dilaksanakan di negara kita.

Disadari atau tidak, menebar fitnah akan mengundang malapetaka dan penderitaan yang sangat melelahkan. Entah bagi diri, lingkungan keluarga, ataupun masyarakat yang lebih luas. Dan, penting diketahui bahwa penderitaan akibat fitnah ini tidak hanya dirasakan oleh orang yang difitnah saja, akan tetapi aktor utama yang menebar fitnah pun akan merasakan akibatnya. Sebab, orang yang suka memfitnah orang lain sebenarnya ia sedang menata penderitaan hidupnya sendiri, cepat ataupun lambat.

Salah satu kisah menarik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang konflik antara Sa'id Ibn Zaid Ibn `Amr Ibn Nufail dan Ar wa binti `Aus. Sa'id ditentang dan dilaporkan oleh Arwa binti `Aus kepada Marwan Ibn al Hakam.  Wanita itu menuduhnya mengambil sebagian dari tanahnya. Sa'id pun berkata, "Apakah aku mengambil sebagian dari tanah miliknya setelah aku mendengar ucapan dari Rasulullah SAW?"

Marwan bertanya, "Apa yang Anda dengar dari Rasulullah SAW?" Ia menjawab, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, `Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan ke lehernya tujuh lapis bumi.'"

Maka, Marwan berkata, "Aku tidak akan memintamu bukti-bukti setelah ini." Lalu Sa'id berkata, "Ya Allah, jika perempuan ini bohong maka butakanlah matanya dan matikan dia di tanahnya." Sehingga, Urwah berkata, "Wanita itu tidak meninggal dunia sehingga matanya menjadi buta dan ketika ia berjalan di tanahnya, tiba-tiba ia terjatuh dan masuk terperosok lubang dan meninggal." (HR Bukhari Muslim).

Dalam riwayat lain dengan makna yang sama, Muhammad Ibn Zaid melihat wanita tersebut dalam keadaan buta dan sedang meraba-raba dinding seraya berkata, "Aku tertimpa doanya Sa'id, dan sesungguhnya ia melewati sumur di rumah yang ia pertentangkan kemudian ia terjatuh ke dalam sumur dan itu menjadi kuburnya." (HR Muslim).

Kisah di atas menunjukkan betapa buruk dan bahayanya dosa menuduh atau memfitnah, sekaligus memberi peringatan kepada kita bahwa perangai ini termasuk perbuatan jahat (zalim) yang semestinya ditinggalkan.

Di sisi lain, kisah di atas memberi hikmah dan pesan yang sangat penting untuk kita bahwa tangisan dan rintihan doa orang yang dizalimi hendaklah ditakuti karena ia akan didengar dan dikabulkan Allah. Termasuk tangisan dan rintihan doa orang yang difitnah.

Senada dengan pesan Nabi SAW kepada Mu'adz ketika akan diutus ke Yaman, "Takutlah kamu akan doa seorang yang dizalimi karena doa tersebut tidak ada hijab (penghalang) di antara dia dengan Allah." (HR Bukhari dan Muslim). Wallahu`alam bish shawab.

(sumber:Republika edisi Selasa, 17 November 2015 Hal. 12 Oleh Imron Baehaqi)

Post a Comment

 
Top