Berislam itu bukan sekadar menyatakan dua kalimat syahadat sehingga memiliki (to have) identitas diri sebagai Muslim, tetapi juga menghendaki proses dinamis untuk menjadi (to be) Muslim yang saleh: bervisi, berpikir, bersikap, dan berperilaku Islami.

Oleh karena itu, menjadi Muslim yang saleh itu tidak bisa instan atau karbitan, namun menghendaki adanya proses terencana, usaha sungguh-sungguh, konsistensi, dan kesabaran dalam mengaktualisasikan keberislamannya.

Islam menginginkan umatnya berkemajuan, berkeunggulan kompetitif, berkemandirian, dan berdaya saing tinggi dengan menunjukkan kinerja terbaiknya.

Karena pada dasarnya, umat Islam itu umat terbaik yang hadir untuk mengemban tugas mulia: dakwah amar makruf nahi munkar, bahkan menyerukan tegaknya kebenaran, keadilan, dan kebaikan.

Salah satu kunci sukses umat terbaik adalah etos fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Baqarah [2]: 148).

Etos fastabiqul khairat ini sangat penting dimiliki setiap Muslim, karena perjalanan hidup ini tidak datar, tetapi mendaki dan terjal. Semangat kompetisi dalam berbuat kebaikan merupakan energi positif untuk meraih prestasi tinggi dan menjadi yang terbaik di mata Allah.

Hakikat kehidupan dunia ini adalah ujian dan pembuktian iman untuk meraih kinerja terbaik. “(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS al-Mulk [67]: 2).

Sejarah menunjukkan bahwa etos fastabiqul khairat yang dimiliki umat telah memacu spirit dan motivasi mereka meraih kemajuan peradaban Islam yang gemilang.

Para pemimpin, ulama, pendidik, sastrawan, dan sebagainya bergandeng tangan mengaktualisasikan etos fastabiqul khairat dalam mengembangkan sains, teknologi, seni, dan budaya demi terwujudnya peradaban Islam yang agung.

Etos fastabiqul khairat merupakan kekuatan penggerak umat menuju berpikir kreatif, inovatif, dan konstruktif. Mereka selalu selangkah lebih maju dan lebih cepat dalam melakukan aksi kebaikan. Mereka ini bukan termasuk kategori kelompok yang menzalimi diri sendiri, dan juga bukan kelompok pertengahan.

Alquran mengisyaratkan ketiga kelompok manusia itu agar kita memilih dan menjadi bagian dari kelompok terbaik yang selalu ber-fastabiqul khairat.

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS Fathir [35]: 32).

Menurut Wahbah al-Zuhayli, zhalim li nafsihi adalah kelompok yang melaksanakan sebagian kewajiban, dan melanggar sebagian yang diharamkan. Kelompok ini masih cenderung fastabiqul ma’ashi wal munkarat (berlomba-lomba melakukan kemaksiatan dan kemunkaran).

Sementara muqtashid adalah kelompok pertengahan, yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, namun masih melakukan sebagian yang makruh (dibenci agama) dan meninggalkan beberapa amalan yang dianjurkan.

Sedangkan sabiq bil khairat bi idznillah adalah kelompok kompetitif yang melaksanakan kewajiban dan anjuran, dan meninggalkan larangan dan yang makruh, serta sebagian yang dibolehkan.

Kelompok paling ideal tentu saja adalah kelompok yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan (al-khairat) demi kemasalahatan bersama. Seseorang dapat berbuat baik sesuai dengan kompetensi dan posisi masing-masing.

Guru bisa selangkah lebih maju dan cepat dalam mengamalkan ilmunya sebelum mendidik para siswanya. Pedagang dapat berbaik hati dengan kejujuran dan keramahannya dalam melayani pembeli atau pelanggan.

Pengusaha kaya bersegera memberikan kedermawanannya kepada fakir miskin yang memerlukan uluran tangannya. Hakim dan penegak hukum tidak kenal kompromi dan rasuah dalam menegakkan keadilan hukum; selalu membela yang benar, bukan memihak yang bayar.

Pemimpin umat dan bangsa peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpinnya dengan memberikan pelayanan profesional terbaiknya, tidak sibuk melakukan transaksi kekuasaannya dengan pihak asing atau pengusaha hitam demi mengeruk kekayaan untuk kepentingan pribadi atau partai politiknya.

Sedangkan fakir miskin senantiasa mendedikasikan dukungan dan doanya demi kebaikan bangsa dan Negara. Semua warga bangsa berfastabiqul khairat dalam bidang masing-masing; berfastabiqul khairat dalam mengaktualisasikan akidah tauhidnya, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan bangsa, kerakyatan dan kearifan, serta keadilan sosial bagi semua.

 

(sumber:Republika edisi Rabu, 3 Februari 2016 Hal. 12 Oleh: Muhbib Abdul Wahab)

Post a Comment

 
Top