Berbicara tentang guru berarti membicarakan masa depan bangsa. Guru memegang peranan penting dan strategis, terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian peserta didik dan nilai-nilai yang diinginkan.

Peran guru sulit tergantikan sebab guru tidak sekadar mengajar secara fisik, tetapi harus mampu menghadirkan hati dalam mendidik. Perlu disadari bahwa gelar yang disandang oleh guru bukan sebuah jaminan keberhasilan dalam mendidik. Bisa jadi malah menjadi awal sebuah kegagalan jika seorang guru tidak memahami hakikat mendidik.

Mendidik adalah menyentuh hati. Hati sebagai pusat perubahan peserta didik. Jika hatinya bagus maka tindakan dan perilakunya (karakter) peserta didik akan bagus. Jika hatinya buruk maka tindakan dan perilakunya (karakter) juga akan buruk.

Inilah hakikat makna dari hadis Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya pada diri anak Adam terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik maka menjadi baik pula seluruh tubuhnya. Apabila ia rusak maka menjadi rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati." (HR Muttafaq alaih).

Perubahan itu dimulai dari hati. Tidak ada seorang pun yang dapat membolak-balikkan hati kecuali Allah SWT. Di sinilah pentingnya pendidikan berbasis hati. Guru (manusia) adalah sebagai pembimbing dan pengarah kepada kebaikan sedangkan pemberi hidayah--menjadikan peserta didik menjadi baik-- merupakan hak prerogratif Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Qashash [28] ayat 56, "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang- orang yang mau menerima petunjuk."

Aam Amirudin dalam Tafsir Alquran Kontemporer menjelaskan, terkait QS al-Ghasyiyah [88] ayat 21-22 bahwa Allahlah yang memiliki otoritas untuk memberikan hidayah kepada seseorang. Tugas kita (guru) menyampaikan kebenaran dengan ikhlas, bersungguh-sungguh, dan menggunakan metode dan teknik terbaik. Selain dengan mengupayakan melalui aktivitas doa untuk kebaikan peserta didik, seorang guru hendaknya terus mengupayakan usaha secara manusiawi dalam upaya menyentuh hati.

Abbas As-Sisy dalam bukunya, At-Thariq ila al- Qulub, memberikan tips cara menyentuh hati. Di antaranya, pertama, menghafal nama. Seorang guru hendaknya berupaya menghafal nama-nama peserta didik dengan baik. Dengan mengenal nama tersebut akan menambah kedekatan hubungan kasih sayang antara orang tua (guru) dengan anak (siswa).

Kedua, menyebarkan salam. Selain ungkapan doa, ucapan salam dapat membangkitkan rasa aman, mempererat ikatan, dan menumbuhkan rasa cinta antara guru dan siswa. Salam antarsiswa, antaraguru, dan antarsiswa dan guru.

Ketiga, menyebarkan senyuman. Senyuman merupakan gambaran isi hati yang menggerakkan perasaan dan memancar pada wajah, seakan berbicara dan memanggil sehingga hati yang mendengar akan terpikat dan akan terjalin hubungan kekeluargaan antaraguru sebagai orang tua dan murid sebagai anak.

Keempat, berjabat tangan. Tangan adalah alat yang sangat peka. Ia dapat menerima dan mengirim isyarat-isyarat yang tampak pada wajah atau yang tersimpan dalam hati. Berjabat tangan akan menambah keharmonisan hubungan antara guru dan murid. Jika sentuhan hati dalam mendidik ini dapat terus diupayakan maka akan dapat mengantarkan kepada kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik. Wallahu a'lam.

(sumber:Republika edisi Kamis, 21 Januari 2016 Hal. 12 Oleh IMAM NUR SUHARNO)

Post a Comment

 
Top