Bekerja bukanlah sebatas kegiatan rutinitas untuk memenuhi nafkah diri dan keluarga, melainkan merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Ibadah yang disyariatkan, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, haji, dan umrah identik dengan biaya atau ongkos. Dengan kata lain, semua jenis ibadah itu tak dapat ditunaikan dengan baik dan sempurna, kecuali dengan adanya biaya atau harta.

Bahkan dalam volume tertentu, ibadah shalat dan puasa pun memerlukan biaya atau ongkos. Fasilitas shalat seperti masjid, mushala, sajadah, pakaian dan seumpamanya membutuhkan biaya. Begitupun hidangan untuk makan sahur dan berbuka puasa yang juga memerlukan biaya. Dan, biaya atau harta tersebut dapat diperoleh, utamanya dengan bekerja.

Oleh sebab itu, bekerja untuk mendapatkan harta dalam rangka ibadah kepada Allah hukumnya wajib (QS at-Taubah [9]:105). Sebagaimana kaidah fikih yang menyatakan, "Suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan, melainkan dengan suatu jalan, maka jalan itu hukumnya wajib."
Bekerja, apa pun jenis pekerjaan dan profesinya, selama dikerjakan dengan baik dan tidak melanggar prinsip syariat agama, itu dipandang mulia. Lihatlah potret kehidupan para Nabi dan Rasul, mereka juga bekerja dan tidak pernah memandang hina atau gengsi suatu pekerjaan.

Sebuah riwayat dari Ibn Abbas menceritakan, "Nabi Daud bekerja sebagai tukang besi, Adam sebagai petani, Nuh sebagai tukang kayu, Idris sebagai tukang jahit, dan Musa sebagai penggembala kambing." (HR Hakim). Sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Rasulullah SAW pernah bekerja sebagai buruh. Beliau pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah dan pernah bekerja menjalankan perniagaan milik Khadijah.

Nabi SAW bersabda, "Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan dia menggembala kambing." Mereka (para sahabat) bertanya, "Dan engkau juga wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ya aku menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath." (HR Bukhari).

Bekerja yang dilakukan ikhlas semata-mata ibadah kepada Allah akan mendapat ampunan (magfirah). Bahkan, ada dosa yang tidak dapat diampuni dengan hanya ibadah shalat, puasa, zakat, haji, dan umrah. Kecuali, dengan semangat bekerja untuk mencari rezeki (HR Ibn `Asakir).

Selain itu, Allah SWT mencintai seorang mukmin yang giat bekerja (HR Thabrani). Mukmin yang bekerja untuk memberi makan dan memenuhi nafkah keluarganya karena semata-mata ibadah kepada Allah maka akan dijaga dari sentuhan api neraka. Sebagaimana kisah sahabat, Sa'ad bin Muadz al-Anshari, yang sering kita dengar. Ketika Rasulullah SAW mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka." (HR Thabrani).

Agar memperoleh keutamaan tersebut, setiap pekerja mukmin wajib memperhatikan dan mengamalkan prinsip dan etika bekerja dalam Islam. Mulai dari niat misalnya, bekerja hendaklah diniatkan sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT, disertai kepribadian yang jujur, amanah, dan sabar dalam bekerja.

Lebih spesifik lagi adalah itqan, sungguh-sungguh, dan profesional. Seorang pekerja Muslim harus bersungguh-sungguh, tekun, disiplin, dan kompak. Memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya, sekaligus bertanggung jawab dalam mengeksekusi pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tugasnya dengan baik. (HR Baihaqy dari `Aisyah).

Selain itu, jenis pekerjaan atau usaha yang ditekuni mutlak halal dan baik (halalan thayyiba). Terhindar dari unsur syubhat (samar dan meragukan kehalalan dan keharamannya). Maknanya, pekerjaan yang diridhai Allah, sesuai atau tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Termasuk, dalam adab kerja ini adalah tidak menghalangi dan melalaikan ibadah kepada Allah. Terutama ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, ataupun ibadah haji. Demikianlah keistimewaan bekerja dalam Islam. Bekerja berbuah surga. Wallahu a'lam bishawab.

 

(sumber:Republika edisi Sabtu, 12 Maret 2016 Hal. 12 Oleh Imron Baehaqi)

Post a Comment

 
Top