Rasul SAW bersabda, "Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman." (HR Muslim).

Hadis tersebut cukup populer di kalangan umat Islam. Kedudukannya juga sahih. Ia menjadi dalil dan panduan umat terkait dengan urgensi dan prosedur mengubah kemungkaran. Di antara pelajaran yang bisa diambil dari hadis di atas adalah sebagai berikut.

Pertama, ukuran keimanan seseorang ternyata tidak hanya dilihat dari ibadahnya , shalatnya, puasanya, hajinya, dan seterusnya. Akan tetapi, juga dilihat dari sikapnya ketika melihat dan merespons kemungkaran.

Saat melihat kemungkaran, seorang mukmin tidak boleh diam, abai, apalagi sampai ridha dan mendukung. Namun, ia harus menunjukkan pembelaan dan loyalitasnya kepada Allah dengan berusaha mengubah kemungkaran tersebut. Itulah ciri dari mukmin sejati. Allah berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran," (QS Ali Imran: 110).

Kedua, Nabi SAW menyebut kemungkaran dalam bentuk nakirah/(indefinit). Apa maknanya? Maknanya, kemungkaran yang dimaksud berlaku umum. Berlaku pada semua jenis kemungkaran. Berlaku pada semua tindakan yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul SAW. Dengan demikian, ia tidak hanya terbatas pada urusan akidah, ibadah mahdah, dan seterusnya.

Ketiga, mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) diletakkan oleh Nabi SAW dalam urutan pertama. Pasalnya, kekuasaan itulah yang memiliki peran efektif dan strategis dalam mengubah kemungkaran. Apalagi, kemungkaran yang terjadi saat ini begitu masif. Betapa banyak dakwah, nasihat, dan petuah agama disampaikan tetapi menjadi kurang efektif saat dirusak oleh tayangan media dan regulasi kebijakan yg menyimpang.

Mengubah kemungkaran menjadi sangat efektif ketika dilakukan lewat kekuasaan. Karena itu, dari sini dapat dipahami mengapa agama menyuruh memilih penguasa yang beriman, yang Islam, yang berakhlak, yang taat, dan pintar karena ia akan bisa melakukan proses amar makruf dan nahi mungkar.

Namun, jika kekuasaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, yang tidak layak, yang tidak beriman, maka tunggu saat kehancurannya. Rasul SAW bersabda, "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya, "Bagaimana maksud amanat disia- siakan?" Nabi menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada orang yang tidak tepat, tunggulah kehancuran itu." (HR al-Bukhari).

 

(sumber:Republika edisi Senin, 4 April 2016 Hal. 1 Oleh Fauzi Bahreisy)

Post a Comment

 
Top