Maraknya isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) belakangan ini mengharuskan kita semua belajar lagi dan mengambil hikmah dari kisah Nabi Luth dan kaumnya yang dikenal berperilaku menyimpang, yaitu kaum homoseksual (liwath). Pembelajaran tersebut agar hikmah yang dipetik dari kisah kaum Nabi Luth itu menjadi pelajaran bagi masa depan bangsa dan umat manusia.

Setidak-tidaknya ada tujuh narasi kategori perilaku yang disematkan Alquran kepada kaum Nabi Luth AS. Pertama, perbuatan homoseksual (pria atau perempuan penyuka sesama jenis) disebut fahisyah. "Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya, `Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu'." (QS al-`Ankabut [29]: 28). Menurut Muhammad al-Hijazi dalam at-Tafsir al-Wadhih, esensi fahisyahitu adalah perbuatan sangat keji, menjijikkan, dan membahayakan.

Kedua, perilaku lesbian dan gaykaum Luth AS itu disebut mungkar (ditolak keras, tidak bisa diterima norma agama, etika, atau hukum). "Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?" Maka, jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar." (QS al-`Ankabut [29]:29). Lebih parah lagi, mereka menantang Nabinya untuk meminta azab Allah SWT kepada mereka.

Ketiga, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dinilai mufsid (merusak). "Dia (Luth) berdoa, "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan yang berbuat kerusakan itu." (QS al-`Ankabut [29]: 30). Mereka dinilai sebagai pembuat kerusakan karena mereka itu merusak indahnya lembaga pernikahan berbeda jenis, merusak salah satu tujuan dan fungsi pernikahan, yaitu reproduksi secara sehat dan halal, sekaligus merusak mental-spiritual dan masa depan manusia. Bayangkan, jika mayoritas manusia berperilaku seperti kaum Nabi Luth AS, niscaya punahlah kehidupan manusia di muka bumi ini.

Keempat, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dianggap musrif, sungguh keterlaluan, atau melampaui batas: rasionalitas, kepatutan, dan kewajaran (abnormal). "Dia (Ibrahim) berkata, "Apakah urusanmu yang penting wahai para utusan (malaikat)?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth) agar kami menimpa mereka dengan batu-batu dari tanah (yang keras), yang ditandai dari Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas." (QS adz-Dzariyat [51]: 31-34). Betapa tidak melampaui batas, binatang saja yang tidak diberikan oleh Allah SWT akal dan kalbu, tidak ada yang menyukai sesama jenis. Artinya, perilaku kaum Nabi Luth itu jauh lebih buruk daripada perilaku binatang.

Kelima, perilaku kaum Nabi Luth AS itu dinilai zalim (aniaya), baik terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain. Disebut zalim karena mereka melakukan perbuatan yang menyimpang dari fitrah kemanusiaan dan melawan norma dan etika sosial. Banyak riset menunjukkan bahwa asal mula timbulnya penyakit AIDS adalah karena hubungan seksual sesama jenis, melalui perilaku seks anal (dubur) yang oleh Nabi SAW secara tegas dilarang.

Keenam, perilaku kaum Nabi Luth AS itu merupakan dosa besar, pelakunya disebut mujrimun. Ketujuh, perilaku kaum Nabi Luth itu termasuk perilaku yang berulang kali diberi peringatan (mudzar) oleh Allah SWT, namun mereka tetap tidak percaya, bahkan menentang dan menantang didatangkannya azab kepada mereka.

Kisah dalam Alquran tersebut faktual, benar adanya, dan tidak ahistoris. Tidak ada argumen yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas legalisasi perkawinan sejenis, termasuk argumen HAM, karena perilaku kaum Nabi Luth itu justru melanggar HAM: melawan nurani dan fitrah kemanusiaan yang benar dan lurus, mematikan proses reproduksi melalui pernikahan berbeda jenis dan mematikan masa depan kemanusiaan.

 

(sumber:Republika edisi Jumat, 19 Februari 2016 Hal. 12 Oleh Muhbib Abdul Wahab)

Post a Comment

 
Top