"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu". (Q.S. Ali-Imran: 159).

Keberhasilan dakwah sangat tergantung sejauh mana para juru dakwah memahami seluk beluk yang berkaitan dengan dakwahnya. Para ulama juga menyebutkan ada beberapa unsur pokok dalam melaksanakan tugas dakwah itu sendiri. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti seruan, panggilan atau ajakan. Arti demikian sering kita jumpai dalam Al-Qur'an. Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an diantaranya terdapat dalam surat Yunus: 25, Yusuf: 33, dan surat al-Baqarah: 221.

Oleh karenanya, menyampaikan risalah dakwah tugas setiap muslim. Karena Islam adalah agama dakwah. Maka setiap muslim mempunyai tugas untuk menyampaikan dakwah Islam ini di tengah-tengah umat.

Bahkan, dengan terang dan gamblang al-Qur'an menjelaskan bahwa dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran (lihat surat al-Imran: 104). Demikian juga Allah SWT memerintahkan agar dakwah yang dilakukan mesti berdasarkan ilmu atau bashirah (lihat surat Yusuf: 108). Bukankah, keberhasilan dakwah itu tergantung sejauh mana para juru dakwah memahami adab dan metode dakwahnya. Ulama menyebutkan ada beberapa unsur pokok dalam melaksanakan kewajiban dakwah, antara lain: Juru dakwah, objek dakwah, materi dakwah dan uslub dakwah atau metode dakwah. Allah SWT berfirman: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu". (Q.S. Al-Imran: 159).

Imam al-Baghawi, salah seorang ulama tafsir menjelaskan tentang makna ayat, "Hendak engkau berlemah lembut terhadap mereka" maknanya adalah engkau bersikap ramah, bijaksana, dan tidak cepat marah. Ada pun Imam Qatadah menjelaskan, makna ayat itu adalah engkau bersikap lembut, berakhlak baik dan bersikap bijaksana.

Begitu pentingnya sikap bijak dan kelembutan dalam mengajak manusia ke jalan Allah ini, Nabi kita yang mulia SAW memberikan tuntunan kepada kita salah satunya adalah sebuah riwayat Imam Bukhari dari Aisyah RA. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (dengan kebaikan itu). Sebaliknya, jika lemah lembut itu dicabut darinya, maka ia menjadi buruk". (H.R. Bukhari).



Penuh Hikmah dan Kelembutan

Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitab tafsirnya bahwa Abdullah bin Amr bin Ash berkata: aku melihat Rasulullah SAW itu tidak bertutur kata kasar, tidak juga berhati keras, tidak pernah membalas kejahatan. Tetapi, beliau itu senantiasa memberi maaf. Nabi melakukan itu semua agar manusia tertarik memeluk Islam. Aisyah RA yang tidak lain istri Nabi SAW meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya, Allah itu Maha lembut dan menyukai kelembutan dalam segala hal (H.R. Bukhari).

Syaikh Abdullah al-Basam, dalam Syarah Buluqhul Maram, berkata 'Islam adalah agama yang mengajak pada cinta dan persaudaraaan. Bukankah, lemah lembut itu merupakan salah satu nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.'

Para ulama menjelaskan, ayat dan hadits Nabi SAW di atas sebagai suatu dasar bahwa kelembutan sikap dan tutur kata dalam melakukan dakwah atau mengajak manusia adalah sebuah keniscayaan.

Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, ia berkata, hendaknya kita mengajak manusia kepada agama Allah ini dengan al ilmu wal hilm yaitu dengan landasan ilmu dan kelembutan. Tentu kita menyaksikan, tidak sedikit manusia yang lari dari ajakan kita, disebabkan karena kita berlaku, bersikap dan bertutur kata kasar kepada mereka.



Ketika Nasehat disampaikan

Menyampaikan nasehat adalah sebuah kewajiban seorang muslim dengan muslim yang lain. Namun, nasehat hendaknya juga dibangun dengan adab dan contoh yang pernah dilakukan Nabi SAW dan juga dilakukan oleh para sahabat-sahabatnya. Salah satu penjelasan ulama dalam menyampaikan nasehat kepada saudaranya sesama muslim. Salah satunya yang dilakukan oleh Imam Syafi'i.

Imam Syafi'i RA menjelaskan bahwa pada umumnya manusia tidak menyukai jika diberi nasehat di hadapan orang lain. Untuk itu, para ulama memberikan nasehat itu harus didasari dengan adab-adab Islam sebagaimana diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Beberapa ulama memberikan nasehat tentang hal ini, salah satunya adalah Imam Ibnu Hibban, ia menyebutkan bahwa hendaknya memberi nasehat tidak di depan orang lain. Ibnu Hazm juga berkata; Jika engkau ingin memberi nasehat kepada orang lain, hendaknya nasehat itu diberikan secara empat atau secara tidak terbuka.

Bahkan, Imam Syafi'i RA dengan indah beliau juga memberikan nasehat bahwa umumnya manusia akan menolak kebenaran bila diberi nasehat dihadapan orang banyak. Beliau berkata; Janganlah engkau jengkel apabila nasehatmu tidak didengar atau ditaati.



Menjadi Umat Pertengahan

Di dalam bahasa Arab, kata Wasatha mempunyai beberapa arti antara lain: adil, tengah, baik dan seimbang. Mengajak manusia kepada agama Allah ini hendaknya dengan ilmu dan hikmah serta bijaksana. Dengan menggunakan sikap seperti ini tentunya akan mendatangkan kecintaan manusia kepada kita.

Allah SWT berfirman: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu" (Q.S. al-Baqarah: 143).

Oleh karenanya, ulama memberikan nasehat jadilah keberadaan kita itu dirindukan orang. Adanya kita mendatangkan kehangatan dan kesejukan dan mendatangkan manfaat untuk orang lain dan orang sekitarnya. Allah ta'ala berfirman, "Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpaling dari pada orang-orang yang bodoh". (Q.S. al-Baqarah: 199).

Seorang da'i atau penyuluh agama sesungguhnya dituntut menjadi orang yang selalu bersikap arif dan bijaksana serta berusaha menjadi pemaaf. Namun terkadang perkara ini tidaklah mudah dalam prakteknya. Bahkan, berlaku ihsan dan membalas kehajatan dengan kebaikan juga tidaklah lebih mudah lagi. Itu semua bisa dilakukan jika dilandasi dengan terus mengharap keridoan dan pahala dari sisi Allah ta'ala.

Sebagai contoh dalam kehidupan kita sehari-hari misalnya, orang yang tidak pernah berkunjung dan bersilaturrahim kepada kita, tidak pernah menegok kita, ketika kita sakit, tidak pernah pula berta'ziah ketika keluarga kita ada yang meninggal dunia. Kenyataan ini terkadang menimbulkan dalam hati kita bisikan setan. Kadang timbul pikiran untuk apa kita berkunjung dan silaturrahim kepadanya, untuk apa kita menengoknya, buat apa kita membantunya, dia juga tidak pernah melakukan kebaikan kepada kita. Ini yang dimaksud dengan tidak didasarkan atas kelembutan, cinta dan penuh kebijaksanaan.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman: "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Q.S. al-Baqarah:199).

Kita harus menyakini dengan sebenar-benarnya keyakinan kepada Allah SWT bahwa yang berbuat baik dan beramal shalih akan mendapat pahala. Semoga Allah memasukkan kita pada golongan seperti ini. Amien. Waallahu 'alam bishshawwab.



(Sumber: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.22 Thn.XLIII, 20 Sya’ban 1437 H/ 27 Mei 2016 M Oleh H. Abdul Kadir Badjuber, M.Pd.I)

Post a Comment

 
Top