ahmadiyah sesat

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S. Al Ahzab : 40)

Pro dan Kontra masalah Ahmadiyah, kini mencuat kembali. Sekte keagamaan yang telah dihukum murtad dan keluar dari Islam oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985, juga sebelumnya Fatwa Internasional Liga Muslim Dunia tahun 1974 yang menyebutkan Ahmadiyah adalah agama di luar Islam. Bahkan di negara asalnya (India dan Pakistan), Ahmadiyah ditempatkan dalam kelompok minoritas non muslim, lalu fatwa tersebut diikuti negara-negara muslim lainnya.

Tak terkecuali di Indonesia yang diikuti ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga lainnya, terutama Majlis Ulama Indonesia yang telah menegaskan kembali fatwanya tentang sesatnya faham Ahmadiyah pada Munas VII tahun 2005.

Namun anehnya, mengapa belakangan ini semangat pembelaan kepada sekte Ahmadiyah kian menguat, mulai atas nama kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia sampai pemutar balikan fakta di lapangan. Salah satu yang terpenting adalah "melunaknya" pernyataan para pembela Ahamdiyah terhadap keyakinan khatamun nabiyyin, di mana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi akhir zaman akhirnya -dengan penuh terpaksa- diakui juga sekalipun ada tambahannya. Justru tambahannya itulah, menunjukkan bahwa mereka kaum Ahmadiyah tidak berubah dari keyakinan semula bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi akhir zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sekalipun yang dipopulerkan sekarang adalah Al-Masih al-Mau'ud atau Imam Mahdi dan Khalifah al-Masih. Sementara kelompok Lahore menyebutnya pembaharu (muhaddid).

Khatamun Nabiyyin versi Ahmadiyah

Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah al-Masih II orang Ahmadiyah:1914-1965) dalam bukunya Apakah Ahmadiyah itu? (buku terjemahan dengan penerbit Jema'at Ahmadiyah Indonesia tahun 1987) menyebutkan: "Apakah orang Ahmadi menyebut dirinya orang Islam dan beriman kepada kalimat syahadat, maka atas dasar apakah itu harus ingkar kepada khatamun nubuwwat dan tidak percaya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khatamun Nabiyyin?". Allah `azza wa jalla dengan jelas berfirman: "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang di antara kamu orang laki-laki, melainkan ia adalah Rasulullah dan Khatamun Nabiyiin". (Q.S. Al Ahzab : 40)

Bagaimanakah orang yang mempercayai Al Qur'an dapat mengingkari ayat ini? Tegasnya orang-orang Ahmadi sekali-kali tidak beri'tikad, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah khatamun nabiyyin. Apa yang dikatakan oleh orang-orang Ahmadi hanyalah demikian, bahwa makna tentang khatamun nabiyyin yang dewasa ini populer di kalangan kaum muslimin itu tidaklah sesuai dengan apa yang dikmaksud oleh ayat tersebut; dan begitu pula makna itu tidak menjelmakan kemuliaan dan keagungan beliau seperti kemuliaan dan keagungan yang diisyaratkan oleh ayat tersebut. Jema'at Ahmadiyah mengartikan khatamun nabiyyin sesuai dengan penggunaan umum dari bahasa Arab dan hal mana diperkuat oleh ucapan-ucapan Siti Aisyah radhiyallahu 'anha , Sayyidina Ali rahimahulullah, dan para sahabat lainnya. Dengan artian itu (yang dikemukakan Jema'at Ahmadiyah) keagungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan martabat beliau bertambah semarak lagi dan terbuktilah olehnya ketinggian beliau dari seluruh ummat manusia.

Jadi orang-orang Ahmadi tidak mengingkari gagasan dari khataman nubuwwat, melainkan menolak artinya saja, -bahkan terlanjur sudah tersebar di kalangan kaum muslimin- , sebab kalau orang mengingkari berarti kufur. Sedangkan dengan karunia Allah orang Ahmadi itu adalah muslim dan beranggapan bahwa satu-satunya jalan keselamatan  ialah berjalan di atas rel Islam". Dari paparan tersebut, seolah-olah Jema'at Ahmadiyah benar-benar sama dengan kaum muslimin lainnya dalam mengimami nabi Akhri zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun mereka berbeda dalam penafsirannya. Lalu mereka membiaskan beberapa riwayat atsar sahabat, di antaranya ucapan 'Aisyah radhiyallahu 'anha dan Ali rahimahulullah sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh tokoh mereka, di antaranya Muhammad Sadiq H.A. dalam bukunya Analisa Tentang Khataman Nabiyyin yang diterjemahkan Jema'at Ahmadiyah Indonesia tahun 1997.

Contoh ucapan Aisyah radhiyallahu 'anha yang dinukil dari Ad-Durul Mantsur berikut ini. "Katakanlah olehmu bahwa ia (Muhammad) adalah khataman nabiyyin dan janganlah kamu berkata: tak ada sembarang nabi lagi datang sesudah beliau."

Kemudian mereka (tokoh-tokoh Ahmadiyah) menukil pandangan Syaikh Sushusul Hikam sebagai berikut: "Khatamur Rasul ialah yang tidak ada sesudahnya nabi yang membawa syari'at. Maka itu adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai khataman nabiyyin tidak menghalalngi adanya Isa di belakang beliau, karena Isa adalah nabi yang akan mengikuti pada ajaran yang dibawa khatamur rasul (Muhammad) itu."

Maka pengertian Khatamun Nabiyyin versi Ahamdiyah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan "Nabi terakhir yang diberikan syari'at". Artinya, tidak menutup kemungkinan akan muncul nabi-nabi yang lainnya setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Adapun kalimat khatam (menurut Ahmadiyah) mengandung pengertian mayukhtamu bihi (barang yang di cap) atau stempel, mushaddiq (yang membenarkan), bisa juga mengandung arti asyraful afzhal (semulia-mulianya) atau zinatun (perhiasan).

Semua logika tersebut, mempunyai inti bahasan bahwasanya "masih ada nabi lagi" setelah nabi Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) dan pelanjutnya. Menurut Ahmadiyah Qadyan, nabi-nabi yang muncul setelah nabi Muhammad disebut sebagai nabi buruzi, yaitu "nabi yang tidak membawa syari'at".

Senada dengan pandangan tersebut, pernyataan pembelaan para ahli pemohon dari pihak Ahmadiyah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tertanggal hari Selasa, 10 Oktober 2017 yang lalu (diwakili oleh Prof. Dr. M. Qasim Mathar dari UIN Alauddin Makasar dan Zuhairi Misrawi dari Moderate Society). Menurut Prof. Mathar, "peta besar ummat Islam itu ada tiga; sunni, syi'ah dan ahmadiyah". Menurutnya, rukun Islamnya sama, namun rukun keimanan yang berbeda. Lalu dirinya menegaskan: "Orang yang masih mempertentangkan sunni, syi'ah dan ahmadi, mereka adalah ketinggalan". Sedangkan Zuhairi menyatakan bahwa "tidak ada hak bagi seseorang ataupun lembaga (termasuk MUI) untuk menilai golongan lain". Menurutnya, perbedaan kaum ahmadi dengan muslim lainnya hanyalah masalah penafsiran semata.

Untuk menepis logika kaum Ahmadi, sebenarnya ayat yang menyebutkan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pamungkas para nabi (Q.S. Al-Ahzab:40) cukup menjadi dalil bahwasanya tidak ada nabi setelahnya, dikarenakan banyaknya dalil penguat dari hadits-hadits yang shahih sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Bukhari 2/175 dengan kalimat wa annahu la nabiyya ba'di, "hanya saja sesudahku tidak ada nabi". Lalu Imam Muslim 1/581 dengan kalimat fa inni akhirul anbiya, "sesungguhnya aku nabi paling akhir".

Adapun maksud ucapan Sayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha "Katakanlah olehmu bahwa ia (Muhammad) adalah khataman nabiyyin dan janganlah kamu berkata "la nabiyya min ba'di" tidak berarti Aisyah menyakini ada nabi setelah nabi akhir zaman sebagaimana dipahami Shaleh A. Nahdi (Tokoh Ahmadiyah, pengarang buku Masalah Khatamun Nabiyyin), melainkan perkataan ini sama derajatnya dengan ucapan nabi ketika melarang para sahabat agar tidak menulis hadits nabi terlebih dahulu karena dikhawatirkan bercampur dengan ayat Al-Qur'an, sebagaimana sabdanya: "Janganlah kamu menulis apapun dariku selain ayat Al-Qur'an ... " (H.R. Imam Ahmad, Musnad 3/56).

Masih banyak keganjilan, kekeliruan dan kesesatan lainnya mengenai keyakinan Ahmadiyah. Semoga bahasan singkat ini menjadi penguat bagi kaum  muslimin dalam mengimani nabinya dan membuka mata hatinya dihiasi kedengkian dan keingkaran. Mudah-mudahan mereka diberikan hidayah ke jalan yang benar. Wallahu A'lam bish shawab.

(Sumber: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.43 Thn.XLIV, 7 Syafar 1439 H/ 27 Oktober 2017 M Oleh H.T. Romly Qomaruddin, MA)

Post a Comment

 
Top