hari yang benar dalam islam

Dari Rib'iy bin Hirasy dan Hudzaifah Ibnul Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Allah menyesatkan orang-orang sebelum kita karena hari Jumat. Orang Yahudi merubahnya menjadi Sabtu, dan orang Nasrani merubah hari Ahad (mengganti namanya jadi Minggu, pen). Lalu Allah menunjuki kita dengan hari Jum'at. Karena itulah bergandengan tiga hari besar berturut-turut, yaitu Jumat, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka akan mengikuti kita pada hari Kiamat. Kita ummat terakhir tapi didahulukan urusannya  pada hari Kiamat. Kitalah yang lebih dulu diadili sebelum umat-umat yang lain." (Shahih Bukhari, Juz 2: 292-294)

Islam memiliki dua standar waktu; waktu syamsiyah untuk jadwal waktu sholat (an-Nisa':103) dan waktu qomariyah untuk istibat Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah (al-Baqarah : 169). Waktu syamsiyah melahirkan hisab. Produknya adalah kalender, jadwal waktu sholat, info gerhana, prakiraan cuaca, auronautika dan sejenisnya.

Sementara waktu qomariyah melahirkan rukyat. Produknya antara lain waktu-waktu ibadah terkait puasa, hari raya, waktu-waktu haji, batas masa iddah, kaffarah dan ayman, siklus haidh, batas hamil dan menyusui, transaksi muamalat, traktat, dan lain-lain. Dua standar waktu ini menjadi basis kalender masehi dan kalender hijriyah serta kalender lainnya.

Kebesaran suatu kaum antara lain diukur berdasarkan kepemilikannya terhadap kalender. Di tanah air ada beberapa jenis kalender: kalender Saka Jawa, kalender Saka Sunda, dan kalender Saka Bali. Semua sistem kalender yang ada di muka bumi berbasis kalender Islam, karena mendasari hitungan bulannya pada surah at-Taubah: 36, yakni 12 bulan dan 7 hari. Kalender qomariyah Islam adalah penanggalan induk tertua di muka bumi, tulis Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa. Belia mengatakan bahwa asal kalender adalah standar qomariyah bukan standar syamsiyah. Standar kalendr qomari (lunar) lebih praktis, mudah dan sederhana, sehingga memungkinkan untuk diakses secara terbuka oleh semua lapisan masyarakat. Pelaksanaan ibadah jadi nikmat dan nyaman, karena selalu berganti musim setiap tahunnya. Puasa dan haji tidak terus menerus di musim dingin  atau musim panas, seingga membuat suasana baru dalam beribadah.

Keberadaan kalender bisa menjadi penentu wajah peradaban suatu kaum. bahkan gengsi sebuah bangsa terletak pada ketaatannya melakukan setting-kalender yang diprogramkannya. Target pencapaian dan daya serap, kedisiplinan dan konsistensi, produktivitas, revivalisme dan lain-lain, dihasilkan dari proses kalenderisasi. Dari sini akhirnya kalender melahirkan hari-hari besar dan sejumlah perhitungan bisnis yang menjadi kebanggan sekaligus keunggulan sebuah bangsa.

Almanak Islam

Almanak Islam berbeda secara diametral dengan kalender luar Islam. Awal harinya bermulal dari malam, bukan siang, sehingga penyebutannya adalah malam-siang bukan siang-malam. Yang ada adalah sebutan malam Jum'at bukan kamis malam. Maghrib awal tanggal, ditandai adzan maghrib, bukan jam nol-nol. Ahad; hari pertama, bukan senin. Jum'at jadi penghulu hari, bukan  Minggu yang nama dewa matahari itu. Jumlahnya ada 29 atau 30 hari, tidak ada tanggal 28 atau 31. Akhir tahun dan awal tahunnya bulan suci, dengan dipuasakan. Ada puasa Arafah pada akhir tahun dan ada puasa Muhraam di awal tahun. Penggabungan antara perayaan Desember dan Januari karena mengadopsi keagungan awal dan akhir tahun kalender Islam.

Bagi Islam, nama-nama bulan yang 12 adalah tauqifi (definitif) demikian pula nama-nama hari, sehingga tidak boleh diganti atau diubah, seperti yang terjadi pada kalender di luar Islam. Nabi ... menyebutkan nama-nama hari dalam riwayat berikut. Ummu Salamah dari Abu Hurairah meriwayatkan; "Rasulullah memegang tangannya, lalu bersabda: 'Allah menjadikan tanah pada hari Sabtu, menancapkan gunung pada hari Ahad, menumbuhkan pohon-pohon pada hari Senin, menjadikan bahan-bahan mineral pada hari Selasa, menjadikan cahaya pada hari Rabu, menebarkan binatang pada hari Kamis, dan menjadikan Adam pada hari Jum'at setelah Ashar, yang merupakan penciptaan paling akhir yaitu saat-saat terakhir di hari Jum'at antara waktu Ashar hingga maghrib." (H.R. Muslim /2789). Sejarah mencatat bahwa di era Sahabat, kalender Masehi sebenarnya sudah ada. Namun mereka tidak begitu tertarik menggunakannya. Di awal Islam, patokan kalender didasarkan pada peristiwa hijrah. Dalam jawaban surat yang dikirim oleh khalifah Umar kepada Gubernur Kufah Abu Musa Al-Asy'ari (17-23 H). Khalifah Umar menulis: "Surat-suratmu sudah sampai kepada kami, namun sulit bagi kami untuk mengurut-tertibkannya lantaran suratmu itu tidak bertarikh."

Pada hari Rabum 20 Jumadil-Akhirah tahun 17 H, Khalifah Umar melakukan sidang terbuka penetapan kalender. Banyak sekali usulan-usulan yang berkembang saat itu. Semua usulan dijawab tuntas, konsekuensi maupun dampak-dampaknya. Kesepakatannya, kalender Islam farraqat baynal-haqqi wal-bathil. Kalender Islam; murni tauhid, punya nuasa semangat perubahan, sarat dengan nilai syari'at dan syi'ar, karena menjadikan hijrah kubra Nabi ke Madinah pada  16 Juli 622 M sebagai titik tolak. Dan yang lebih menarik adalah kesepakatan menjadikan proyek pembangunan Masjid Quba' di awal hijrah kubar, sebagai awal penanggalan. Al-Qur'an membunyikannya dengan kalimat; lamasjidun ussisa 'alattaqwa min awwali yaumin.

Maghrib Awal Hari

Kalender Islam memulai hari dari maghrib (ghurub) ditandai dengan kumandang adzan maghrib, di saat matahari yang sudah terbenam saat itu bersujud di 'Arsy Allah `azza wa jalla (Shahih Bukhari /4803); Shahih Muslim (159 dari Abu Musa Al-Asy'ari).

Saat maghrib itu anak-anak muslim tempo doeloe sudah bersiap-siap mengaji dan sholat berjama'ah di suarau, musholla terdekat, dibimbing oleh orang tua atau guru mengajinya. Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji (Gemmar atau GM3) yang digagas secara nasional oleh Kementrian Agama, perlu dimaksimalkan oleh semua pihak sebagai terobosan perbaikan akhlaq generasi muda. Tokoh-tokoh besar negeri ini, doeloenya adalah alumni Gemmar Mengaji ini.

Imam Syaukani dalam Nailul-Authar melaporkan, bahwa ada sejumlah Sahabat yang gemar melakukan ibadah antara Maghrib dan Isya' antara lain adalah Ibnu Mas'ud, Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, Salman Al-Farisy, Ibnu 'Umar, Anas bin Malik dan beberapa sahabat Anshar.

Ahad Hari Pertama

Hari pertama dalam kalender Islam adalah Ahad, bukan Senin, sesuai semantik penamaannya didukung hadits-hadits shahih mengenai penciptaan (bad'ul-khalqi). Baru akhir abad 19 atau awal abad 20 hari Ahad dieja dengan hari Minggu, sebelumnya dieja dengan "dominggu" dari bahasa Portugis "domingo" artinya hari Tuhan. Dalam konteks Indonesia, perubahan ini adalah warisan peninggalan penjajahan bangsa Portugis selama kurang lebih 85 tahun (1511-1596 M).

Sumber lain menyebutkan bahwa perubahan hari pertama dari Ahad ke Senin terjadi di masa Konstantinopel mengalami kerusakan parah pada tahun 196 M oleh pasukan Romawi. Perubahan besar-besaran terjadi kala itu, tidak hanya pada sektor kalender melainkan juga kiblat kaum kristiani berubah dari menghadap Baitul Maqdis menjadi menghadap matahari terbit.

Jumlah penanggalannya ada 29 dan 30 hari, tidak ada tanggal 28 atau 31 seperti terjadi di kalender lain. Dari Ibnu Umar RA, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Bilangan bulan itu adalah begini dan begini." Maksudnya 30 hari. Kemudian beliau bersabda: "Dan begini, begini dan begini." Maksudnya 29 hari. Tidak ada jam nol-nol. Kalender Islam, tidak mengenal jam 00 alias jam 24.00. Ini, pola-pola Yahudi. Dengan adanya istilah jam 00 atau 24 ini, terjadi banyak keganjilan. Malam Jum'at di mana kaum muslimin disunnahkan untuk mandi, baik karena malamnya (mandi janabat), maupun karena siangnya (mandi untuk sholat Jum'at), seolah-olah tiada atau ditiadakan diganti dengan istilah Kamis Malam. Keganjilan istilah jam 00 ini juga seolah-olah meniadakan tanda-tanda kematian husnul Khatimah secara legal formal. Karena dari sekian banyak tanda husnul khatimah, wafat pada malam Jum'at termasuk salah satu dari tandanya.

Syeikh 'Abdurrahman Al Barrak hafidzahullah menjelaskan dalam fatwanya, ini termasuk bid'ah kalender. Sebelum ada percetakan kalender, sebutan aneh seperti tersebut di atas, tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.52 Thn.XLIV, 10 Rabi'ul Akhir 1439 H/ 29 Desember 2017 M Oleh Abu Tawjieh Rabbani)

Post a Comment

 
Top