memberi hadiah
"Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata : "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu;  tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu". (Q.S. An-Naml : 36)

Allah `azza wa jalla menciptakan manusia itu dalam keadaan lemah. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan sendirian. Sementara itu kemampuan dan keahlian setiap individu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Karena itulah Allah perintahkan manusia agar hidup tolong menolong. "... dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..." (Q.S. Al Maidah : 2)

Tolong menolong dalam kehidupan ada yang bersifat timbal balik yang sebanding dan saling menguntungkan, dimana seseorang yang memberi orang lain ia pun memperoleh sesuatu yang senilai dengan yang ia berikan atau bahkan lebih besar. Seperti dalam praktek jual beli. Baik barang ditukar dengan barang, atau barang ditukar dengan uang. Atau dalam praktek sewa menyewa, baik barang disewa dengan jasa, atau jasa diupah dengan uang, atau jasa dibayar dengan jasa.

Ada juga tolong menolong dengan memberi manfaat jasa kepada orang lain dengan tidak ada kembalian yang sebanding. Tetapi tidak melepaskan harta yang dia miliki. Seperti dalam hal pinjam meminjam dan hutang-mengutang. Ada juga tolong menolong yang bersifat tabarru' atau derma, dimana seseorang memberikan harta miliknya sebagai bantuan dengan tidak mengharap memperoleh apa-apa dari orang yang diberi, melainkan semata-mata mengharapkan balasan pahala dari Allah. Seperti memberi hadiah, hibah, infaq, shadaqah, dan waqaf.

Tolong-menolong diperintahkan dalam Islam bukan sekedar untuk sama-sama memperoleh keuntungan, tetapi juga harus didasarkan membangun ikatan persaudaraan dan kasih sayang. Saling memberi dengan tidak mengharapkan kembalian dari orang yang diberi adalah salah satu cara membangun kasih sayang. Cara seperti ini disebut memberi "hadiah". Rasulullah bersabda, "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai" (Hadits Riwayat Al Baihaqi).

Kisah Memberi Hadiah dalam Al-Qur'an
Hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak tertentu agar hubungan antara si pemberi dan si penerima semakin akrab, dan demi mendapatkan pahala dari Allah tanpa disertai permintaan atau persyarataan. Allah menyebutkan perkara hadiah pada kisah Nabi Sulaiman rahimahulullah dan Ratu Bilqis dalam surat an-Naml. Dalam kisah tersebut, Ratu Bilqis mengatakan: "Sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu." (Q.S. An-Naml : 35)

Dengan mengirimkan hadiah, Ratu Bilqis ingin membuat lunak hati Sulaiman rahimahulullah, dengan harapan Nabi Sulaiman akan membiarkan dirinya dan kaumnya untuk tetap menyembah matahari. Akan tetapi Sulaiman membalas mereka dengan berkata: "Kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka, sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang tidak kuasa mereka lawan." (Q.S. An-Naml: 36-37). Demikianlah keadaan para penyeru kepada Allah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tekad kokoh. Berbagai hadiah tidak membuat keyakinan dan akhlak mereka melemah.

Hukum Memberi dan Menerima Hadiah
Pemberi hadiah biasa dilakukan oleh seseorang atau  satu instansi kepada orang atau instansi lainnya. Dalam prakteknya hadiah mempunyai banyak motif. Ada hadiah yang diberikan sebagai penghargaan atas prestasi seseorang, seperti hadiah dari guru kepada muridnya. Ada yang diberikan sebagai tanda cinta dan belas kasihan, seperti dari seorang kaya kepada orang miskin. Ada yang diberikan sebagai rasa cinta dan penghormatan, seperti hadiah dari murid kepada guru, dari bawahan kepada atasan. Ada yang diberikan sebagai tanda pengikat rasa persahabatan, seperti hadiah seseorang kepada tetangganya, hadiah dari seseorang kepada teman sejawatnya, atau seorang kepala negara kepada kepala negara lain. Ada hadiah yang diberikan karena hari perayaan kegembiraan, seperti perkawinan dan lebaran. Ada juga hadiah yang diberikan seseorang untuk sebagai ucapan terima kasih atas suatu bantuan atau pelayanan yang diberikan seseorang kepada dirinya.

Hadiah adalah sesuatu yang mubah berdasarkan kesepakatan umat, jika  tidak ada penghalang syar'i. Ia menjadi mustahab jika diberikan dalam rangka menyambung silaturahim, kasih sayang dan rasa cinta. Dan memberi hadiah adalah perkara yang disyariatkan manakala seseorang hendak membalas kebaikan. Namun hadiah juga bisa menjadi haram atau mengantarkan kepada keharaman, jika ia berupa sesuatu yang haram atau termasuk dalam kategori sogokan atau sejenisnya.

Hukum asal dari hadiah adalah boleh, bahkan dianjurkan sebagai amal kebaikan, sebagaimana tadi disebutkan pada riwayat Al-Baihaqi. Dalam riwayat Imam Ahmad juga dikatakan, "Saling memberi hadiahlah kalian! Karena hadiah itu menghilangkan kekeruhan hati". Anas bin Malik rahimahulullah berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami saling memberi hadiah untuk menjaga hubungan, dan beliau bersabda; "Kalaulah manusia telah berislam tentu saling memberi hadiah tanpa menunggu kelaparan" (Hadits riwayat al Baihaqi)

Akan tetapi jika pemberian "hadiah" itu terkait dengan suatu tugas pekerjaan, atau suatu kasus perkara hukum, di mana seorang memberi hadiah kepada aparat atau penguasa dengan tujuan agar ia dapat dibebaskan, diistimewakan, atau dikurangkan dari suatu yang menjadi kewajibannya; atau untuk memperoleh apa yang bukan menjadi haknya, sehingga terjadilah kecurangan, ketidak-adilan, atau penyelewengan dari hukum yang  seharusnya, maka semua itu adalah haram dan dikatagorikan sebagai "risywah" atau suap dan "al-ghullu" atau korupsi. Sebagai mana dalam hadits Shahih Bukhari dikisahkan. Dari Abu Humaid Assaidi ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan seorang pekerja yang biasa dipanggil Ibnu Latabiyah, untuk menghimpun harta zakat Bani Sulaim. Ketika ia datang kepada Nabi, beliau memeriksanya. Ia berkata kepada Nabi, "Ini adalah harta Tuan (harta zakat) dan ini adalah hadiah untukku". Nabi bersabda, "Kenapa kamu tidak duduk saja di rumah ibu-bapakmu sehingga hadiah itu datang ke rumah kamu, kalau kamu memang benar?".

Lalu Rasulullah berkhutbah, "Amma ba'du. Sesungguhnya aku menugaskan seseorang di antara kamu suatu tugas yang Allah pikulkan kepadaku. Lalu ia datang dan mengatakan ini harta tuan dan ini hadiah untukku. Kenapa ia tidak duduk saja di rumah ibu-bapaknya sehingga datang hadiah itu. Demi Allah, tidaklah seseorang mengambil yang bukan haknya melainkan akan menghadap Allah dengan memikul hartanya itu. Sungguh aku mengetahui seorang dari kamu datang menghadap Allah sambil memikul unta yang meringkik, atau memikul sapi yang mengemoh, atau memikul  kambing yang mengembik (dari hasil suap dan korupsinya)". Kemudian Rasulullah mengangkat tangannya sampai nampak putih ketiaknya, "Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?!"

Demikian pula saling memberi hadiah di dunia bisnis adalah hal yang wajar dan boleh selama dilakukan dengan cara yang benar dan dimaksudkan untuk memelihara ikatan kerjasama, menjaga loyalitas pelanggan, menjaraing konsumen, meningkatkan motivasi para karyawan, menghargai prestasi, atau memberi penghormatan kepada atasan. Tapi jika hadiah itu dimaksudkan untuk menyelewengkan aturan, melanggar hak dan kewajiban, maka semua itu termasuk risywah, alias suap yang haram hukumnya. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.19 Thn.XLII, 19 Rajab 1436 H/ 8 Mei 2015 M Oleh DR. Jeje Zainuddin, M.Ag)

Post a Comment

 
Top