Hidup itu membaca dan menulis. Membaca berarti memahami ilmunya, menulis berarti mengamalkannya ke dalam kehidupan peribadatan sesuai tuntunan agama.

Allah SWT sebelum menurunkan ayat-ayat lain, yang sarat berisi ajaran tentang hidup dan kehidupan, telah memproklamasikan bahwa membaca dan menulis adalah kunci ilmu pengetahuan.

Lima ayat pertama yang turun (QS al-'Alaq [96]: 1-5) menunjukkan esensi dan urgensi membaca dan menulis. Ini merupakan babak baru pembebasan manusia dari keterbelakangan. Spiritnya adalah menyuruh membaca dan belajar menulis untuk menggali dan meraup berbagai ilmu pengetahuan.

Untuk itulah, mengapa Allah SWT sangat menghargai tinta dan pena sebagai alat utamanya (QS al-Qalam [68]: 1-4). Membaca dan menulis telah dipatenkan dalam Alquran. Secara teologis, keduanya merupakan bagian esensial dari ajaran agama yang akan menunjukkan jati diri kemanusiaan.

Dengan membaca, akan terpancar ilham dan pola pikir baru sehingga dapat menuliskan atau mengaktualkannya dalam lembaran kehidupan individu maupun kolegial. Membaca adalah objek utama, sedangkan menulis adalah sasaran pokok mengimplementasikan hasil membaca yang bernilai inspiratif dan positif.

Secara ijmal, membaca adalah proses mengolah bacaan dengan tujuan memperoleh wacana. Sedangkan, menulis adalah menuangkan buah pikiran atau menularkan hasil membaca untuk menunjang eksistensi diri pribadi maupun orang lain. Setiap informasi yang dinilai bermanfaat dan berdampak menghasilkan kemaslahatan untuk hidup dan kehidupan.

Kalimat bijak Islami mengajarkan, Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon tanpa buah. Secara substansi, membaca untuk menulis sesungguhnya mengekspresikan ilmu yang dimiliki dan mengamalkan untuk dirinya maupun orang lain.

"Barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia harus dengan ilmu, dan barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan akhirat harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya harus dengan ilmu." (Muttafaqun 'alaih).

Secara empiris, kegiatan bercengkerama, berdialog, bertukar pikiran dengan ahli ilmu dan pakar agama sejatinya merupakan ikhtiar menimba wawasan dan wacana ilmu.

Bertandang ke panti yatim piatu, bertakziah ke ahli musibah, menyerap saripati materi tausiyah majelis taklim, atau berinteraksi dengan pihak lain, kesemuanya termasuk rangkaian membaca untuk menulis fenomena kehidupan.

Menyerap hikmah yang terkandung dari objek bacaan, menjadikannya iktibar dan memetik pelajaran maupun hikmah darinya. Untuk selanjutnya mengaktualkannya dalam kehidupan dan menularkannya merupakan keluaran hasil membaca untuk menulis.

Setiap dari kita, dapat dipastikan pernah membaca dan menulis karakteristik manusia lain. Secara ijmal, membaca adalah penilain kita tentang perilaku orang lain, sedangkan menulis adalah sikap kita terhadap orang lain.

Membaca untuk menulis berkonotasi mengadopsi sekaligus mensyiarkan butir-butir keteladanan yang dilandasi nawaitu untuk mengoptimalkan amal ibadah kepada-Nya. Membaca hal-hal yang bermanfaat dan menuliskan (mengamalkan) benih-benih kemaslahatan, sungguh mulia dan berpahala surga.

Walhasil, sekali tempo silakan perhatikan cara seorang jamaah melaksanakan rukun dan sunah bertaharah (bersuci) menjelang shalat di masjid.

Selanjutnya, introspeksi dan sempurnakan pelaksanaan berwudhu kita sehingga menjadi baik dan benar. Itulah buah "membaca untuk menulis" dalam lingkup amal ibadah sehari-hari dilandasi niat agar hari esok lebih baik dari hari ini. Insya Allah.

 

(sumber:Republika edisi Senin, 14 Maret 2016 Hal. 1 Oleh Nasiruddin Zuhdi)

Post a Comment

 
Top