kaum salaf menghadapi fitnah

"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim". (Q.S. Al Baqarah : 193)

Ketika Utsman terbunuh, pertikaian di tengah kaum muslimin semakin rumit bagiku, maka aku berdoa, "Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku kebenaran yang dapat ku pegang teguh". Tiba-tiba pada waktu tidur bermimpi melihat dunia dan akhirat yang dibatasi oleh suatu dinding, lalu aku memanjat dinding itu ternyata kudapati banyak makhluk.

Kemudian mereka berkata, "Kami adalah para malaikat". Aku bertanya, "Kalau begitu, mana para saksinya?" Mereka menjawab, "Naiklah anak-anak tangga!" Kemudian aku menaiki tangga demi tangga. Ternyata ada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Nabi Ibrahim 'alaihis salam. Ketika itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Nabi Ibrahim 'alaihis salam,  "Mintalah ampunan untuk umatku!" Nabi Ibrahim menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan setelahmu. Mereka saling menumpahkan darah dan membunuh pemimpin mereka. Mengapa mereka tidak melakukan seperti yang dilakukan kekasihku, yaitu Sa'ad (bin Abi Waqqash)."

Husain Al Asyja'i berkata,  "Aku telah bermimpi. Akan kuceritakan mimpiku ini kepada Sa'ad. Aku pun menceritakan kepadanya. Dengan cerita itu, tidak ada hal lain yang lebih membuatnya gembira daripadanya."

Sa'ad berkata, "Sungguh rugi orang yang tidak menjadi kekasi Nabi Ibrahim 'alaihis salam."

Aku bertanya, "Lalu Anda bersama kelompok yang mana?" Ia menjawab, "Aku tidak bersama seorang pun di antara mereka."

"Kalau begitu, apa engkau perintahkan kepadaku?" tanyaku. Ia menjawab, "Apakah kamu punya kambing?" Aku menjawab, "tidak." Sa'ad berkata, "Kalau begitu, belilah seekor kambing. Peliharalah kambing itu, sampai kebenaran menjadi jelas bagimu."

Dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah, ia berkata, "Ketika mereka (para pemberontak) menikam Utsman, ayahku shalat di malam hari dan berdoa, "Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah sebagaimana Engkau lindungi hamba-hamba-Mu yang saleh." Keesokan harinya, saat aku keluar, ternyata Utsman telah wafat."

Abdullah bin Umar 'alaihis salam, ia berkata, "Ali pernah mengirimkan seorang utusan kepadaku dan memberi pesan, "Wahai Abu Abdirrahman, engkau adalah seorang yang ditaati oleh penduduk Syam. Pergilah (ke Syam), sesungguhnya aku telah menjadikan dirimu pemimpin bagi mereka." Aku (Ibnu Umar) menjawab, "Aku ingatkan engkau kepada Allah, dan juga karena kedekatan dan persahabatanku dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hendaknya engkau memberikanku keleluasaan (untuk tidak menerima jabatan)?" Ali pun menolak, maka aku meminta pertolongan kepada Hafshah untuk membujuk Ali, namun Ali tetap menolak. Maka pada malam hari aku pergi ke Mekkah, lalu ada yang memberitahukan kepadanya, bahwa aku telah pergi ke Syam. Maka diutuslah seseorang untuk mencariku. Utusan itu sampai ke Al Marbid dan memacu unta tunggangannya dengan memecutnya dengan kain sorbannya agar bisa mengejarku. Hafshah segera mengirim kabar, bahwa aku tidak pergi ke Syam, melainkan ke Mekkah, maka keadaan pun menjadi tenang."

Ibnu Umar 'alahis salam berkata, Sesungguhnya permisalan kita menghadapi pemisalan ini adalah seperti kaum yang meniti jalan yang diketahuinya. Ketika dalam keadaan demikian, tiba-tiba awan dan kegelapan menyelimuti mereka, lalu sebagian mereka ada yang mengambil jalan ke kanan dan ada yang mengambil jalan ke kiri, sehingga salah mengambil jalan. Kita pun berhenti di sana menunggu sampai Allah memberikan titik terang kepada kita, akhirnya kita bisa melihat jalan kita kembali, kita mengenalnya dan mengambil jalan itu. Mereka semua adalah para pemuda Quraisy yang saling berperang demi kekuasaan dan demi kehidupan dunia ini. Aku tidak peduli, untuk tidak mendapatkan kekuasaan yang mereka saling memperebutkannya dengan hanya memiliki sepasang sandalku tanpa tali."

Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam menuliskan biografi Mu'awiyah bin Abi Sufyan rahimahullah menyebutkan, "Di belakang Mu'awiyah ada banyak orang yang mencintainya, dan mengkultuskannya dan mengutamakannya. Bisa jadi Mu'awiyah telah  menguasai jiwa mereka dengan kemuliaan, sikap santun, dan kedermawanannya, atau karena mereka lahir di Syam dalam keadaan mencintainya, dimana anak-anak mereka tumbuh di atas sikap demikian. Sebagaimana tentara Ali rahimahullah dan rakyatnya -selain orang-orang Khawarij- tumbuh di atas mencitainya, membantunya, membenci orang yang memberontak terhadapnya serta berlepas diri dari mereka, namun sebagian lagi ada yang memberontak terhadapnya serta berlepas diri dari mereka, namun sebagian lagi ada yang berlebihan dalam memberikan dukungan kepadanya (seperti yang dilakukan kaum Syi'ah padahal Ali berlepas dari diri mereka). Demi Allah, bagaimana mungkin bisa bersikap adil dan bijaksana, sementara mereka dibesarkan di sebuah tempat yang tidak dilihat selain sikap berlebihan dalam mencintai atau berlebihan dalam membenci lawan? Kita memuji Allah atas keselamatan kita, karena Dia telah menghidupkan kita di zaman dimana kebenaran telah jelas, dan kedua pihak yang bertikai pun telah jelas kedudukannya. Kita juga mengetahui dalil-dalil yang dipergunakan oleh masing-masing pihak. Akhirnya masalahnya semakin jelas bagi kita, kita pun bisa memaafkan dan memintakan ampunan untuk mereka, serta mencintai dengan batasan yang layak. Kita juga memohonkan rahmat untuk mereka yang memberontak karena alasan yang bisa diterima secara garis besar atau karena keliru yang dapat diampuni insyaAllah. Kita hanya mengatakan sebagaimana yang Allah ajarkan kepada kita,

"Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Rabb Kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengakian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al Hasyr : 10)

Kita juga mendoakan ridha Allah untuk mereka yang memisahkan diri dari dua kelompok yang bertikai, seperti Sa'ad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, Muhammad bin Maslamah, dan Sa'id bin Zaid. Dan kita berlepas diri dari orang-orang khawarij yang lepas dari Islam yang memerangi Ali dan mengkafirkan kedua belah pihak. Meskipun begitu, kita tidak menyatakan bahwa mereka kekal di nereka seperti halnya para penyembah patung dan salib."

Dari Amr bin Murrah, dari Asy Sya'biy, ia menceritakan, bahwa jika ada yang berkata kepada Masruq, "Mengapa engkau tertinggal dalam berbagai peperangan bersama Ali?" Ia menjawab, "Bagaimana pendapatmu, jika kalian semua sedang berbaris rapi, kemudian tiba-tiba malaikat turun dan membacakan ayat kepada kalian, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah  Maha Penyayang kepadamu." (Q.S. An Nisaa': 29) apakah ayat ini akan mencegah kalian?" Mereka menjawab, "Ya." Maka Masruq berkata, "Demi Allah, sesungguhnya malaikat yang mulia telah turun menyampaikan ayat itu melalui lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kalian. Ayatnya jelas dan tidak dimansukh (dihapus) oleh sesuatu pun."

Abu 'Aqil Basyir bin Uqbah berkata, "Aku pernah bertanya kepada Yazid bin Asy Syikhkhir, "Apa yang dilakukan Mutharrif ketika orang-orang membuat huru-hara?" Ia menjawab, "Beliau diam di rumahnya; tidak menghadiri shalat Jum'at dan jamaah sampai persoalannya jelas."

Ayyub berkata, "Mutharrif berkata, "Duduk-duduk dengan orang yang terpercaya lebih aku sukai daripada mencari keutamaan jihad dengan membuat tipu daya."

Humaid bin Hilal berkata, "Kaum Khawarij datang kepada Mutharrif bin Abdullah mengajaknya mengikuti pendapat mereka, ia berkata, "Wahai haruri, sayangnya nyawaku hanya satu dan aku tidak dapat diperdaya begitu saja (pendapat kalian)". Wallahu A'lam

(Sumber: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.49 Thn.XLIV, 19 Rabi'ul Awwal 1439 H/ 8 Desember 2017 M Oleh Marwan Hadidi, M.Pd)

Post a Comment

 
Top