"Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang taqwa". ) (Q.S. At Taubah : 36)

rajaban dalam timbangan sunnah

Bulan Rajab adalah bulan suci yang terpisah dari tiga saudaranya: Dzulqa'dah, Dzulhijjah dan Muharram. Sepakat para Ulama pada ayat "faa tazhlimuu fiyhinna anfusakum", (Q.S. At-Taubah : 36), bahwa beribadah di bulan suci memiliki tingkat keutamaan tersendiri sebagaimana kerasnya larangan melakukan tindakan kejahatan di bulan ini.

Bulan Rajab dulunya adalah hari raya musyrikin Jahiliyah Pra-Islam. Rajab adalah hari raya suku Mudhar, betawinya orang Quraisy. Di zaman awal Islam, orang menyebut bulan ini dengan "rajab mudhar". "Rajab selalu dinisbatkan pada suku Mudhar, karena Rajab hari raya agung mereka," tulis Imam Ibnu Atsir rahimahullah.

Dari keterangan ini, maka diyakini, ada ekstra pahala ibadah di bulan ini. Mereka bayar zakat, memperbanyak infak-sedekah, dan melakukan serangkaian ziarah. Kaum Jahiliyah Pra-Islam menyembelih binatang terbaiknya, fara' atau 'atirah pada saat itu, untuk dijadikan persembahan istimewa di Ka'bah. Dagingnya mereka selempangkan di kiswah Ka'bah, sementara darahnya mereka siramkan di pelataran Ka'bah. Sebuah tradisi pagan yang kemudian dihapus dan diganti oleh syariat qurban pada 10-13 Dzulhijjah dalam bentuk udlhiyyah (Qurban) setiap tahun. Jadi, Rajab adalah hari rayanya paham sinkretisme. Maka ada istilah "rajabiyah" atau "rajaban" dalam istilah muslim tanah air.

Para Ulama meluruskan keyakinan ini. "laa ya'rifuhu'ssalaf walaa qudama'ul-ummah, fahuwa bid'ah muhdatsah laysat min diynillaahi 'azza wajalla," Tradisi ini tidak populer di kalangan tokoh salaf dan pendahulu ummat ini, ini bid'ah yang diada-adakan dan tidak termasuk bagian yang dianjurkan oleh agama, tulis Fadhilatus Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Majmu' Fatawa wa Rasa'il.

Umrah Rajaban
Hukum 'umrah rajabiyah diperbincangkan oleh para Ulama terkait kekhawatiran terulangnya tradisi tasyabbuh dan masuknya infiltrasi paham klenik ke dalam aqidah Islam. Dalam bab ini, ada ulama yang menolak umrah Rajab, dan menyebutnya sebagai bid'ah muhdatsah.

Imam Ibnu Atthar rahimahullah, Faqih Malikiyah, mengatakan : "Telah sampai kepadaku kabar dari ahli Mekkah, bahwa umrah rajab ini sangat digemari oleh ahli Mekkah. Namun setahuku, umrah rajabiyah  ini tidak memiliki landasan riwayat yang jelas."

Para ahlul-ilmi mengatakan, kalau mau mengambil nilai istimewa dari waktu-waktu umrah, maka pilihlah umrah Ramadhan. Karena tidak ada seorang ulama pun yang khilaf soal keistimewaannya, papar Syekh Fauzan dalam al-Muntaqa dari Lajnah Da'imah dan Hay'ah Kibar ulama tanah suci Mekkah. Seiring dengan itu, tak dapat dipungkiri, bulan Rajab adalah bulan suci. Ibadah di bulan suci disunnahkan, termasuk umrah. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa umrah Nabi ada empat kali, salah satunya pada bulan Rajab. Tapi riwayat ini diluruskan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi tidak pernah berumrah di bulan Rajab. Dalam riwayat Aisyah radhiyallahu 'anha umrah Nabi tiga kali; sekali pada bulan Syawwal, sekali di bulan Dzulqa'dah, dan sekali lagi bersama hajinya di bulan Dzulhijjah. Dan Ibnu Umar berdiam diri atas penjelasan Aisyah itu.

Ibnu Umar pun tidak memberikan jawaban lagi. Demikian penjelasan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim, bab bayani adadi umarin-Nabiy wa zamanihinna di hadits no. 1253. Imam Nawawi menutup penjelasannya, "Ibnu Umar agaknya tidak ingat benar ke semua umrah Nabi, karena itu ia memilih diam setelah diingatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha ." Simpul Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim.

Para Salafusshalih banyak yang berumrah pada bulan Rajab, di antaranya para Sahabat, seperti: Aisyah sendiri, Umar bin Khatthab dan Ibnu Umar, Utsman bin Affan radhiyallahu 'anha papar Imam Ibnu Rajab rahimahullah, Latha'iful-Ma'arif Fiyma li Mawasim al-Amm minal-Wazha'if. Imam Ibnu Abi Syaibah melalui sanadnya dari Abu Bakar dari Ubdah bin Sulaiman dari Yahya bin Said dari Said bin Musayyab meriwayatkan: "Aisyah radhiyallahu 'anha pernah berumrah di akhir Dzulhijjah dan di bulan Rajab. Aisyah mengambil miqat di Dzulhuaifah."

Yahya bin Abdurrahman meriwayatkan: "Ayahku pernah umrah bersama Utsman bin Affan radhiyallahu 'anha pada bulan Rajab."

Yahya bin Abdurrahman bin Hatib meriwayatkan: "Ayahku pernah berumrah bersama Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan pada bulan Rajab." Demikian diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah.

Fatwa Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baz rahimahullah, mufti Agung Saudi Arabia, dalam Majmu' Fatawa Syeikh bin Baz (Juz 11 : 389).

Adapun umrah pada bulan Rajab -menurutku- tidak masalah. Dalam kitab as-Shahihain-Bukhari-Muslim-, Ibnu Umar radhiyallahu 'anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berumrah pada bulan Rajab. Orang-orang Salaf terdahulu berumrah pada bulan Rajab, seperti dilaporkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah di kitab "al-Latha if" bahwa Umar dan putranya Ibnu Umar, Aisyah radhiyallahu 'anha melakukannya. Riwayat ini juga dilaporkan dari jalur Imam Ibnu Sirrin rahimahullah, bahwa para Salaf melakukan umrah Rajab." Wallahu waliyyut-taufiq."

Fatwa ini mau mengatakan, selama tidak disertai keyakinan menyimpang, maka umrah Rajab hukumnya boleh. Demikian halnya dengan amalan lain di bulan Rajab. Beramal shaleh di bulan Rajab secara umum; masuk dalam cakupan fatwa ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk berpuasa di bulan suci, bahkan beliau sendiri yang mempuasakan bulan Rajab.

Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: Aku bertanya pada Sa'id bin Jubair rahimahullah tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata tampaknya beliau akan mempuasakan (bulan Rajab) seluruhnya." (Shahih Muslim No. 1157)

Di antara sahabat yang rajin mempuasakan bulan haram adalah Ibnu Umar radhiyallahu 'anha, Usamah bin Zaid dan Abu al-Ahwash: annahu kana yashumu ashurul hurum. Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Imam Baihaqi dalam Sunan Kubra serta Imam Abdurrazaq dalam al-Mushannafnya membuat bab "shiamu asyhuril-hurum" berpuasa di bulan-bulan suci.

Sebagian ulama mengatakan "Empat bulan suci; ada yang punya amalan khusus, ada yang punya amalan umum." Dzulhijjah dan Muharram punya amalan khusus. Sementara Rajab dan Dzulqa'idah tidak punya amalan khusus.

Pada awalnya, tradisi Rajaban mencontoh tradisi Nishfu Sya'ban. Penta'sisnya adalah Ibnu Abil Hamra di Masjidil Aqsha tahun 448H, seorang ahli Qira'ah, seorang Hafidz dan Qari' di zamannya.

Khulashah
Dari data yang ada boleh disimpulkan, kaum muslimin tanah-air berlainan pemahaman terhadap tradisi rajaban:

Pertama, kaum tradisionalis yang superlatif memandang fadhail amalan Rajab tanpa verifikasi riwayat mana shahih mana palsu;
Kedua, kaum literal yang menafikan fadhail Rajab, dan memandang bulan Rajab biasa-biasa saja;
Ketiga, kaum modernis yang menyakini Rajab sebagai bulan suci dan memiliki fadhail.  Puasa ayyamul bidh pada pertengahan Rajab tanggal 13, 14, 15 tetap ada. Menghidupkan bulan Rajab dengan Qiamul Lail, tilawah, munajat, silaturahim, infaq-sedekah, dan seterusnya; sebagaimana berlaku di bulan lain.

Patut pula kita ketahui, bahwa ada pengaruh kaum Syiah dan Tarekat dalam penyebaran tradisi Rajaban ke negeri-negeri Muslim. Ini tidak bisa dipungkiri. Syiah dan Tarekat sangat longgar menerapkan standar verifikasi riwayat. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Edisi No. 14 Thn.XLV, 20 Rajab 1439 H/ 06 April 2018 M Oleh Abu Taw Jieh Rabbanie)

Post a Comment

 
Top