"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah selesai, beliau membaca syahadat lalu bersabda: " Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka'at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.

Para ulamat sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu'akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi'ar Islam.

Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang dapat melakukan Shalat Tarawih dengan beberapa bilangan raka'at, Az Zarqani berkata, "Ibnu Hibban menyebutkan, bahwa shalat tarawih pada awalnya sebelas raka'at. Para imam memperpanjang bacaannya, namun membuat para makmum terasa berat, mereka pun meringankan bacaan dan menambah jumlah raka'at, sehingga mereka melakukan shalat dua puluh raka'at tidak genap dan ganjil dengan bacaan yang sedang, lalu mereka meringankan bacaan lagi dan menjadikan jumlah raka'atnya tiga puluh enam tidak genap dan ganjil, selanjutnya hal tersebut yang tetap dilakukan."

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Semuanya boleh dilakukan, maka ia telah berbuat baik. Yang utama tergantung keadaan orang yang shalat. Jika di antara mereka ada yang siap lama berdiri, lalu ia kerjakan sepuluh raka'at dan tiga raka'at setelahnya sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya, maka itulah yang lebih utama. Tetapi jika mereka tidak siap berdiri lama,  maka melakukan shalat Tarawih berjumlah dua puluh raka'at itulah yang lebih utama, dan itulah yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslim, karena hal itu pertengahan antara sepuluh dan empat puluh. Dan jika seseorang melakukan shalat Tarawih dengan jumlah empat puluh atau selainnya, maka boleh, dan tidak makruh sama sekali. Hal tersebut telah dinyatakan oleh lebih dari seorang imam, seperti Imam Ahmad dan lainnya. Barang siapa yang mengira, bahwa qiyam Ramadhan dibatasi jumlahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak boleh ditambah maupun dikurangi, maka ia telah keliru."
Imam Syafi'i lebih memilih seseorang shalat sendiri jika ia seorang qari (hafiz Al Qur'an: seluruhnya atau separuhnya).

Imam As-Suyuthi mengatakan, "Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamullail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka'at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka'at Tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 20 raka'at".

Berjamaah dalam Qiyam Ramadhan
Qiyam Ramadhan atau shalat Tarawih boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga dilakukan sendiri. Akan tetapi, pelaksanaannya secara berjamaah di masjid lebih utama menurut jumhur (mayoritas ulama).

Riwayat-riwayat yang disebutkan sebelumnya menunjukkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada awalnya melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan para sahabatnya, dan Beliau tidak melanjutkannya karena khawatir hal itu diwajibkan kepada mereka.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, sedangkan keadaan tetap seperti itu. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhalifahan Umar, sehingga Umar bin Khaththab menyatukan mereka di belakang Ubay bin Ka'ab, lalu ia shalat mengimami mereka pada bulan Ramadhan. Dan hal itu merupakan pertama kalinya manusia berkumpul melakukan shalat Tarawih di belakang satu imam pada bulan Ramadhan. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Nasa'i, dan lain-lain).

Dari Abdurrahman bin Abdul Qadir ia berkata, "Aku pernah keluar bersama Umar bin Khaththab pada bulan Ramadhan ke masjid. Ketika itu manusia berkelompok-kelompok. Ada seseorang yang shalat untuk dirinya sendiri, ada pula seseorang shalat mengimami beberapa orang, lalu Umar berkata, "Menurutku, jika mereka dikumpulkan dengan satu imam, tentu lebih utama."

Kemudian Umar mematangkan niatnya dan mengumpulkan mereka di belakang imam Ubay bin Ka'ba. Kemudian pada malam yang lain, aku keluar bersamanya, ketika iru orang-orang shalat di belakang imam mereka, lalu Umar berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah perkara ini, akan tetapi yang tidru dulu -yakni shalat Tarawih di akhri malam- lebih utama daripada yang melakukan sekarang." Ketika itu orang-orang melakukan shalat Tarawih di awal malam." (Diriwayatkan oelh Bukhari dan Malik). Maksud perkataan Umar, bahwa sebaik-baik bid'ah adalah perkara ini, bukanlah bid'ah dalam istilah syariat, tetapi bid'ah secara bahasa, karena semua bid'ah dalam adama adalah dilarang.  Adapun perbuatan di atas bukanlah bid'ah secara sitilah syariat, disebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkannnya sebelumnya, dan Beliau meninggalkannya karena khawatir hal tersebut diwajibkan atas mereka.

Dan sepatunya bagi seorang yang shalat dibalakng imam untuk memyempurnakan shalat bersamanya sampai selesai, serta tidak berpisah dengan sebelum selesai. Dalam hadits Abu Dzar rahimahullah disebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya orang yang melakukan shalat bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat pahala  shalat semalam suntuk." (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah).

Jika imam berwitir di akhir shalatnya, maka ia ikut berwitir bersamanya, meskipun sebelumnya ia berniat untuk berwitir nanti di akhir malam.

Bacaan dalam Shalat Tarawih
Para ulama madzhab Hanafi dan Hanbali menganjurkan, agar dilakukan pengkhataman Al Qur'an dalam sebulan agar manusia mendengarkan seluruh isi Al Qur'an dalam shalat tersebut.

Ibnu Qudamah berkata, "Ahmad berkata, "Hendaknya imam membaca ayat pada bulan Ramadhan yang ringan bagi manusia dan tidak membebani mereka. Terutama pada malam-malam yang pendek (seperti malam musim panas)."

Al Qadhiy berkata, "Tidak disukai jika tidak dikhatamkan Al Qur'an dalam sebulan, yang demikian agar manusia dapat mendengar Al Qur'an (seluruhnya), dan hendaknya tidak lebih dari itu karena khawatir memberatkan para makmum yang berada di belakangnya. Melihat keadaan manusia tentu lebih utama, karena jika para jama'ah sepakat dilamakan shalatnya, maka hal itu lebih utama sebagaimana yang dikatakan Abu Dzar, "Kami berdiri shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga khawatir kehilangan falah (kemenganan), yatiu makan sahur. Ketika itu, imam membaca dua ratus ayat."

Tidak ada satu riwayat pun mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat Tarawih yang dilakukan oleh Nabi . Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak smapi membuat jama'ah bubar meninggalkan shalat.

Ada anjuran dari sebagian ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur'an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur'an ketika melaksanakan shalat Tarawih. Wallahu a'lam

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.22 Thn.XLIV, 6 Ramadhan 1438 H/ 2 Juni 2017 M Oleh Marwan Hadidi, M.Pd)

Post a Comment

 
Top