يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

"Wahai manusia! Sesungguhnya, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti". (Q.S. Al Hujarat : 13)

Momentum Syawwal menjadi timming yang pas dan tepat untuk bersilaturahmi dan berjumpa kawan lama dalam bingkai reuni, halal bi halal atau acara lainnya yang serupa. Sapaan pertama yang seringkali terucap tatkala bertemu  kawan lama adalah "wah ... sekarang sudah makmur nih", "Sekarang sudah hebat", "Sekarang sudah jadi orang". Itu jika yang dijumpai seorang kawan lama yang berbadan gemuk, kaya raya dengan pakaian bermerk lagi rapi. Sebaliknya, hal itu tak akan berlaku bagi orang yang berpenampilan sederhana dan terlihat miskin.

Memang begitulah rata-rata kebanyakan orang menilai kemuliaan dan kehormatan hanya dari sudut harta, tampilan maupun jabatan. Tapi, ternyata Allah  memiliki gambaran lain tentang kekayaan yang dimiliki mereka yang enggan bersyukur kepada-Nya. Allah `azza wa jalla berfirman, "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia ... ". (Q.S. At Taubah : 55)

Imam Qatadah mengatakan, ayat ini terkandung taqdim dan takhir. Bentuk lengkapnya ialah, "Janganlah kamu terpesona dengan harta dan anak-anak mereka di dalam kehidupan dunia ini. Sesungguhnya Allah `azza wa jalla hanya menghendaki untuk mengadzab mereka di akhirat nanti dengan harta dan anak-anak mereka itu". Harta yang Allah `azza wa jalla berikan kepada mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka. Tidak selalunya harta dan materi yang mereka dapatkan menjadi sebuah karunia. Tidak selalunya pula orang kaya itu terhormat dalam pandangan orang di sekitarnya. Bisa jadi ia menjadi orang yang bakhil, enggan mengeluarkan sesuatu dari hartanya; kecuali jika dengannya mereka mendapatkan pujian dari orang lain.

Sikap bakhil ini menjadi bibit munculnya rasa benci orang-orang sekitar kepadanya. Pandangan terhadapnya pun menjadi buruk. Doa dan sumpah serapah tak luput terucap dan dialamatkan kepadanya.

Semua kehinaan dan kesengsaraan yang demikian itu masih belum sebanding dengan kehinaan dan kepedihan yang kelak mereka rasakan di akhirat. "Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (Q.S. Al Mukmin : 60)

Syukur dan Sabar
Kaya atau miskin bukanlah ukuran kemuliaan. Kaya atau miskin, keduanya tak lebih sebagai ujian. Mana yang mulia dan mana yang hina tergantung kepada bagaimana masing-masing menyikapinya. Nilai kemuliaan orang yang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengakui bahwa semua itu merupakan nikmat yang patut disyukuri, bukan dikufuri. Dan yang tidak kalah penting, ia menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Sang Maha Kaya.

Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan senantiasa bersabar. Tetap berhusnudzan kepada Allah `azza wa jalla. Kemiskinan tidak membuatnya menjauh dari Allah `azza wa jalla, putus asa, lalu mengharap kepada makhluk yang sejatinya lebih lemah dari Sang Khalik.

Seringkali orang yang hidup miskin merasa sangat rugi dan kecewa dengan keadaan hidupnya. Tapi sungguh perasaan itu akan sirna bila ia melihat bagaimana Islam memuliakannya.

Pertama, Keberadaan orang miskin sangat penting dalam masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : "Tidaklah kalian diberikan pertolongan dan diberi rezeki melainkan dengan orang-orang yang lemah di antara kalian". (H.R. Bukhari No. 2896)

Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berharap hidup miskin dan digiring di akhirat bersama para fakir miskin, beliau pernah berdoa: "Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, wafatkanlah aku sebagai seorang miskin, dan giringlah aku pada hari kiamat bersama kelompoknya orang-orang miskin" (H.R. Tirmidzi No. 2352)

Ketiga, mayoritas penduduk surga adalah kaum fakir miskin, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : "Aku telah berdiri di depan pintu surga, maka (kulihat) mayoritas orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin". (H.R. Bukhari No. 6547)

Sungguh mulia kedudukan kaum fakir dan miskin di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga beliau berharap untuk menjadi bagian dari mereka. Kita bisa melihat bagaimana kesederhanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat yang tercermin dalam keseharian mereka menjadi sebaik-baik manusia.

Orang miskin yang sabar, bertaqwa, dan taat beribadah kepada Allah `azza wa jalla, maka ia menjadi orang yang paling mulia. Satu orang miskin yang bersabar lebaik baik daripada orang kaya yang tidak bersyukur (bertaqwa) yang jumlahnya seisi dunia, walaupun orang lain banyak yang menghina orang miskin tersebut dan merendahkannya.

Sahl bin Sa'ad as Sa'di rahimahulullah menceritakan: "Ada seorang laki-laki fakir yang lewat di hadapan Rasulullah dan para sahabat. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, Bagaimana pendapat kalian tentang orang (fakir) yang lewat tadi? Mereka menjawab, "Dia (orang Islam yang fakir), layak bila ditolak pinangannya, jika minta tolong tidak ditolong, bila berkata tidak didengar". Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Orang ini lebih baik daripada orang kaya itu sepenuh bumi semuanya". (H.R. Bukhari No. 5091)

Bukan Berarti Tidak Boleh Kaya
Apabila seseorang di karuniakan kesabaran dalam menghadapi kehidupan, terlebih ia sabar di atas kemiskinan, maka ini adalah sebuah nikmat dan karunia yang besar. Orang miskin yang sabar dan rajin beribadah kepada Allah `azza wa jalla, mentauhidkan-Nya, menjauhi kemusyrikan, melaksanakan sunnah, menjauhi bid'ah, selalu taat dan menjauhi maksiat, maka mereka akan masuk surga terlebih dahulu daripada orang Islam yang kaya dengan keadaan yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Orang-orang fakir kaum muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kaum muslimin),  (perbedaan lamanya) setengah hari, yaitu lima ratus tahun". (H.R. Tirmidzi No. 2353-2354)

Jika disebutkan tentang keutamaan orang miskin yang sabar dan bertaqwa kepada Allah `azza wa jalla, bukan berarti tidak boleh ada orang yang kaya. Di dalam Islam tidak ada larangan menjadi kaya, tetapi jangan sampai kekayaan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah `azza wa jalla. Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, Allah `azza wa jalla telah menampilkan dua tipe manusia yang menjadi sosok panutan dalam sabar dan syukur. Yaitu Nabi Ayub 'alahissalam dan Nabi Sulaiman 'alahissalam

Allah `azza wa jalla menampilkan nabi Ayub 'alahissalam sebagai sosok yang dikenal penyabar. Di tengah ujian yang sangat berat, beliau mampu menghadapinya. Terkadang ada orang yang diberi nikmat harta namun tidak memiliki nikmat sehat. Sebaliknya, ada yang diberi nikmat sehat wal afiyah tapi tidak berharta. Yang terjadi kepada nabi Ayub 'alahissalam, beliau mendapatkan kedua-duanya. Beliau menderita kemiskinan sangat parah dan sakit fisik yang sangat mengenaskan. Allah `azza wa jalla berfirman, "Ingatlah hamba Kami, Ayub. Ketika dia berdoa memanggil Rabbnya, "Sesungguhnya syetan menimpakan mudharat kepadanya dengan nusb (sakit) dan adzab (musibah)". (Q.S. Shad : 41). Di sisi lain, Allah `azza wa jalla hadirkan nabi Sulaiman 'alahissalam sebagai sosok yang dikenal pandai bersyukur. Tetap bersyukur di tengah fasilitas dunia yang beliau miliki. Dua sosok manusia ini, Allah `azza wa jalla sandingkan ceritanya dalam surat Shad, antara ayat 30 sampai ayat 44. Dan keduanya, Allah sebutkan di akhir cerita, "Dia (Sulaiman dan Ayub) adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia orang yang suka bertaubat". (Q.S. Shad : 44)

Artinya baik miskin yang sabar maupun kaya yang bersyukur, di sisi Allah `azza wa jalla statusnya sama-sama hamba yang baik. Tinggal selanjutnya siapa yang lebih bertaqwa di antara keduanya, itulah yang terbaik. Allah `azza wa jalla berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa". (Q.S. Al Hujarat : 13)

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.26 Thn.XLVI, 24 Syawwal 1440 H/ 28 Juni 2019 M Oleh Muttaqin Salam)

Post a Comment

 
Top