"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan". (Q.S. Al Baqarah : 110)

Zakat adalah ibadah amaliyah ijtima'iyah yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Al-Qur'an menegaskan bahwa kesediaan menunaikan zakat adalah sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (Q.S. Al-Taubah : 5 dan 11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (Q.S. al-Mukminun : 4), ciri utama mukmin yang akan mendapat rahmat dan pertolongan Allah `azza wa jalla (Q.S. al-Taubah : 73 dan al-Hajj : 40-41).

Kesediaan berzakat di pandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat tercela seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, di sisi lain zakat sekaligus membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta muzakki. Allah `azza wa jalla mensyariatkan sesuatu memupnyai tujuan tertentu bagi kemaslahatan manusia, tujuan pensyariatan (al qashdu). Ibnu Taimiyah mendifinisikan dengan target-target yang mulia dari perbuatan dan perintah Allah `azza wa jalla yang menunjukkan akibat-akibat yag baik dan hikmah-hikmah yang mulia. Sedangkan Imam As-Syatibi menyebutkan bahwa tujuan dari tasyri' adalah untuk tercapainya tujuan duniawi dan ukhrawi.

Hikmah disyariatkan zakat menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili adalah:
Pertama, menjaga harta dan membentenginya dari pandangan jahat manusia, dan menghindarkan dari tangan orang-orang jahat, sebagaimana hadits: "Bentengilah harta-harta kalian dengan zakat dan obatilah orang-orang yang sakit di antara kalian dengan shadaqah". (H.R. Thabrani). Kedua, sebagai bentuk pertolongan bagi kaum fakir dan miskin. Ketiga, Membersihkan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil, dan Keempat, realisasi atas kewajiban syukur terhadap anugerah nikmat harta.

Sedangkan tujuan zakat menurut Syaikh Yusuf M Qaradhawi terbagi kepada dua: Pertama, Tujuan zakat dan implikasinya bagi kehidupan individu, dan Kedua, Tujuan zakat dan implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Tujuan zakat dan implikasinya bagi kehidupan individu dibagi kepada dua, yaitu tujuan dan implikasinya bagi pemberi (muzakki) zakat dan penerima (mustahik) zakat.

Zakat merupakan ibadah yang memiliki tiga dimensi pokok, yaitu; Pertama, dimensi spiritual personal; yaitu zakat merupakan perwujudan keimanan kepada Allah `azza wa jalla dan instrumen utnuk mensucikan jiwa dan harta. Kedua, dimensi sosial, dalam konteks zakat berorientasi pada upaya untuk menciptakan harmonisasi kondisi sosial masyarakat. Ketiga, dimensi ekonomi yang tercermin pada dua konsep utama yaitu pertumbuhan ekonomi berkeadilan dan untuk meningkatkan kesejahteraan dhu'afa.

Sedangkan tujuan zakat dan implikasinya bagi kehidupan individu muzakki menurut Syaikh Qaradhawi adalah : Pertama, Mensucikan jiwa dari sifat kikir. Zakat yang dikeluarkan semata karena ketaatan pada Allah `azza wa jalla dan mencari ridha-Nya, akan mensucikan jiwanya dari segala kotoran dosa secara umum terutama sifat kikir. Sifat kikir merupakan tabiat manusia yang tercela, yang dengan kikir itu manusia diuji oleh Allah `azza wa jalla. Manusia di muka bumi yang bekerja dan meramaikan bumi sering timbul pada dirinya untuk memiliki, keinginan pada sesuatu benda dan keinginan memiliki selamanya. Sebagai akibatnya timbullah rasa kikir pada diri manusia terhadap apa yang ada pada dirinya, lebih mementingkan diri sendiri terhadap hal-hal yang baik dan bermanfaat daripada orang lain, sifat ini telah disebutkan Allah `azza wa jalla dalam firman-Nya: "dan adalah manusia itu sangat kikir" (Q.S. Al Isra : 100)

Zakat berfungsi mensucikan artinya mensucikan muzakki dari keburukan sifat kikir yang merusak. Sucinya orang itu ditentukan oleh kemurahan dan pemberiannya, ditentukan oleh kegembiraannya waktu mengeluarkan dan ditentukan pula oleh kegembiraan harta, semata karena Allah `azza wa jalla.

Kedua, Mendidik berinfaq dan memberi. Para pakar dibidang akhlak dan pendidikan akhlak dan pendidikan telah bersepakat bahwa sesuatu adat kebiasaan alam memberikan efek yang dalam pada akhlak manusia, cara dan pandangan hidupnya. Begitu pula setiap muslim yag selalu berzakat dan berinfaq, maka berzakat dan berinfaq secara rutin ini yang seharusnya menjadi sifat dan akhlak utamanya. Yang mana hal ini merupakan bagian dari sifat-sifat mukmin muttaqin. Lebih lanjut Allah `azza wa jalla menjelaskan bahwa diantara sifat orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan surga Allah `azza wa jalla adalah orang-orang yang selalu berinfaq, dengan firmannya : "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang , maupun di waktu sempit". (Q.S. Ali Imran ; 134)

Orang yang siap memberikan atau menginfaqkan apa yang ada pada dirinya untuk orang lain, menyerahkan miliknya sebagai bukti kasih sayang kepada saudaranya dan memberikan kebaikan dalam rangka kemaslahatan umat, semata karena ridho Allah `azza wa jalla maka akan terhindar dirinya mengambil harta yang bukan miliknya.

Dalam website IMZ yang dipostinga pada September 2009 silam, disebutkan bahwa salah satu potensi pasar derma di Indonesia adalah dana umat atau dana yang berkaitan dengan ajaran keagamaan, seperti zakat, infaq, sedekah (Islam), kolekte (Katolik), persepuluhan (Protestan), Punia (Hindu), dan lain-lain. Sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim, zakat merupakan salah satu bentuk dana umat yang potensinya cukup besar. Hal itu tergambar dalam survei PIRAC di sebelas kota besar di Indonesia mengenai "Pola dan Kecenderungan Masyarakat dalam Berzakat" (2000-2001). Data survei tersebut menyebutkan bahwa 94% responden yang beragama Islam menyatakan dirinya sebagai wajib zakat, dengan rata-rata nilai zakat per muzaki (pembayar zakat) sebesar Rp. 124.200/tahun. Sementara nilai zakat yang dibayarkan berkisar antara Rp. 44.000 - Rp 339.000/tahun. Sayangnya, potensi zakat yang cukup besar ini belum banyak digalang lembaga penggalang zakat dengan optimal karena minimnya keterampilan dan profesionalisme  dalam menggalang dana tersebut.

Ketiga, Berakhlaqul Karimah. Manusia apabila telah suci dari kikir dan bakhil, dan sudah selalu siap memberi dan berinfak, maka ia telah berakhlaq mulia, dermawan, kasih sayang dan menebar kebaikan, tanpa ada kemanfaatan yang kembali kepadanya.

Keempat, Manifestasi syukur atas nikmat Allah. Perintah agama yang diterima oleh akal, diakui oleh fitrah manusia, dan sesuai dengan akhlak dan moral adalah bahwa pengakuan akan keindahan dan syukur terhadap nikmat adalah suatu keniscayaan.

Kelima, Mengobati hati dari cinta dunia. Kecintaan terhadap dunia dapat memalingkan jiwa dari kecintaan kepada Allah `azza wa jalla dan ketakutan kepada akhirat. Maka zakat merupakan suatu peringatan terhadap hati akan kewajibannya kepada  Allah `azza wa jalla dan perhatiannya kepada akhirat dan merupakan obat, agar hati jangan tenggelam kepada kecintaan akan harta dan kepada dunia secara berlebihan.

KeenamMengembangkan kekayaan batin. Di antara tujuan pensucian jiwa yang dibuktikan oleh zakat, ialah tumbuh dan berkembangnya kekayaan batin dan perasaan optimisme. Seorang muslim yang melakukan kebaikan dengan merealisasikan atau memberikan haknya kepada orang lain, maka orang tersebut akan merasa besar, tegar dan luas jiwanya, dan berusaha menghilangkan kelemahan jiwanya, menghilangkan egoisme.

Ketujuh, Menarik rasa simpati atau cinta. Ikatan yang paling kuat antara orang kaya dengan masyarakatnya yang didasari dengna penuh kecintaan, persaudaraaan dan tolong menolong adalah ikatan zakat.

Kedelapan, Mensucikan harta. Zakat sebagaimana membersihkan dan mensucikan jiwa, ia juga mensucikan dan mengembangkan harta muzakki. Karena berhubungan dengan hak orang lain dengan suatu harta, akan menyebabkan harta tersebut bercampur dengan hal yang kotor, yang tidak bisa suci kecuali dengan mengeluarkan kotoran tersebut. Wallahu A'lam.

(Sumber: Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, Edisi No.22 Thn.XLVI, 26 Ramadhan 1440 H/ 31 Mei 2019 M Oleh Agus Samsono, M.E.I)

Post a Comment

 
Top